Skip to content Skip to navigation

KEPUSTAKAWANAN, MASALAH SOSIAL, dan EPISTEMOLOGI SOSIAL - (bagian 5 dari 7)

KEPUSTAKAWANAN, MASALAH SOSIAL, dan EPISTEMOLOGI SOSIAL - (bagian 5) - oleh : Putu Laxman Pendit
_____
Jika Anda baru kali ini "mendarat" di sini, mohon ingat ada empat tulisan sebelumnya yang terkait. Ingat pula nasihat emak, "Membaca itu perlu, setidaknya bagi yang memerlukannya ...
_____
Setelah empat tulisan, mudah-mudahan kini sudah ada kejelasan tentang apa yang kita bicarakan kalau berdisikusi soal "ilmu sosial" dan soal IP&I sebagai ilmu sosial. [ kalau belum jelas juga, ....... ya 'kebangeten' dehhh ]
Sekarang, mari kita coba bahas apa yang dimaksud "masalah sosial" pada umumnya, dan masalah sosial yang khususnya berkaitan dengan perhatian serta penelitian di IP&I. Saya ingin mengingatkan bahwa rangkaian monolog saya ini memang dipicu oleh sebuah undangan dari mahasiswa UIN Alauddin yang mengaitkan kepustakawanan dengan masalah intoleransi.
Di acara tersebut ada juga pembicara yang secara implisit mengatakan bahwa intoleransi, atau isu terkait lainnya seperti radikalisme dan terorisme, bukan lah hal yang terkait dengan pekerjaan di perpustakaan.
Sinyalemen Ini ada benarnya. Banyak benarnya, bahkan!
Sebab memang masalah-masalah itu sangat luas, kompleks (rumit), dan bertali-temalian dengan banyak hal, sehingga terkesan terlalu "jauh" dari lingkup pekerjaan di perpustakaan.
Tetapi juga adalah benar : perpustakaan dan para penyelenggaranya di Indonesia selama ini, kan, juga tidak menjadikan masalah-masalah itu sebagai persoalan mereka!
Sebab --seperti yang terjadi juga di banyak negara, termasuk Amerika Serikat yang pertama kali punya perguruan tinggi Ilmu Perpustakaan-- para pustakawan terlalu berkonsentrasi pada administrasi dan bibliografi. Itu adalah realita kepustakawanan dan IP&I selama ini, dan bahkan terus dijadikan justifikasi fokus perhatian para pustakawan dan yang meneliti Kepustakawanan.
Padahal, ketika kita fokus ke apa yang dikerjakan Pustakawan di kantor mereka yang bernama Perpustakaan itu, ada realita lain yang terabaikan : yaitu realita yang ada di luar kantor mereka, dan sangat mungkin di luar pikiran mereka!
Memang tidak semua realita itu harus terkait dengan pekerjaan atau kantor mereka. Makanya seringkali ketika saya harus menjelaskan tentang IP&I kepada yang baru belajar, saya akan memulainya dengan bertanya : apakah yang Anda maksud dengan perpustakaan? Hampir pasti jawabannya merujuk ke sebuah gedung (ya kantor itu!) yang dilengkapi perabot, rak, dan koleksi (hampir pasti hanya buku yang disebut), dan ke orang-orang yang bekerja di situ.
Jawaban akan menjadi lebih bervariasi kalau saya bertanya lebih lanjut : apa yang Anda lakukan di gedung 'kantoran' itu? - jawabanya : macam-macam, mulai dari untuk tidur, sampai untuk pacaran. Dan jawaban akan menjadi tersendat-sendat, ketika saya bertanya: kenapa gedung yang Anda pakai pacaran itu ada? Siapa yang membangunnya? Untuk apa dibangunnya?
Dari uji sederhana ini saja kita dapat segera melihat sekelumit realita sosial ketika ingin mengetahui lebih banyak tentang Perpustakaan, apalagi kalau kemudian kita ingin menelitinya sebagai objek kajian ilmiah.
Kita harus selalu mulai dengan melihat Perpustakaan sebagai bagian yang tak dapat dilepaskan dari orang-orang lain : yang bukan Pustakawan, bukan penyelenggaranya, bukan pula yang mendirikan atau mengongkosi biaya pendiriannya. Bagi sebagian besar orang, tentu saja realita ini "biasa-biasa" saja, atau juga "emang udah dari sononya", kata orang Betawi.
Namun bagi seorang ilmuwan, realita yang biasa ini harus menjadi "luar biasa" agar patut dijadikan kajian yang tentunya akan menghabiskan waktu, tenaga, dan biaya. Dalam ilmu sosial, seringkali realita ini harus dikaji lewat kajian tentang perilaku orang lain [ingat ilmu sosial mempelajari perilaku manusia]
Untuk mengkaji realita yang sedang kita amati sebagai bagian dari perilaku dan kehidupan manusia-manusia di suatu masyarakat tertentu, kita seringkali bahkan harus merasuk jauh ke dalam pikiran-pikiran manusia, baik yang sudah terungkapkan, maupun yang belum, baik yang terungkap secara lisan maupun tulisan. [dalam bahasa yang kedengaran lebih keren dan elit, kita sering harus bicara "realita sebagai konstruksi pikiran manusia "]
Misalnya, kita seringkali harus terlebih dahulu mengerti mengapa manusia-manusia di Indonesia menggunakan kata "pustaka" yang adalah kata dasar dari Pustakawan maupun Perpustakaan?
Sebelum kita punya pegangan yang agak pasti tentang apa itu "pustaka", tentu saja kita akan terjebak dalam fokus yang sempit itu: misalnya, menganggap pustaka sama dengan buku, dan mengelola pustaka sama dengan mengelola buku (di sebuah kantor atau gedung yang berpapan-nama "Perpustakaan"]. Ya, kan?!
Dalam kesempatan lain, saya sampai harus menulis sebuah buku lumayan tebal untuk mengajak mahasiswa atau siapa pun yang ingin lebih banyak tahu tentang perpustakaan. Apakah Anda sudah baca buku itu? Hehehe... ini sekalian numpang promosi.
_____
Selingan iklan :
Yang belum punya, "Pustaka : Tradisi dan Kesinambungan" dan "Pustaka dan Kebangsaan" silakan beli di ISIPII.
_____
Singkat kata, di kedua buku tersebut saya menguraikan mengapa dan bagaimana akhirnya kita -sebagai Bangsa Indonesia- memutuskan untuk memakai kata "pustaka" dan membangun serta mengisi Perpustakaan dengan koleksi dan orang-orang yang bekerja mengelolanya, yang kemudian kita sebut Pustakawan. Di buku itu, mungkin hanya seperlima nya saya menyebut hal-hal yang terkait dengan teknik pembuatan katalog atau klasifikasi atau proses-proses kerja lainnya.
Sebagian besar, kalau tak dapat dikatakan seluruhnya, buku itu berbicara tentang hal-hal yang terjadi di sekitar Perpustakaan sebagai kantor, dan di sekitar kegiatan Pustakawan yang berkait dengan religi, peradaban, dunia ilmu, pendidikan, tradisi buku dan membaca buku, sejarah, politik, ekonomi, globalisasi, sampai demokrasi dan kapitalisme....
Lho... lho...lho .... kok jadinya ngomongin yang kayak begitu-begitu, pak Putu?! -- saya inget itu salah satu komentar orang ketika saya ceritakan buku saya.
Iya... jawab saya sambil mesem-mesem ... Emang ternyata pustaka itu menyangkut religi, peradaban, dunia ilmu, pendidikan, tradisi buku dan membaca buku, sejarah, politik, ekonomi, globalisasi, sampai demokrasi dan kapitalisme....
-- tersenyum sejenak
Demikian lah saya lalu ingin menjustifikasi di sini bahwa Pustakawan dan Perpustakaannya berkaitan dengan intoleransi...
Tetapi pasti ada penjelasan yang lebih rinci, mengapa saya begitu yakin bahwa Pustakawan adalah mahluk sosial yang tidak akan lepas dari masalah sosial yang ada di luar gedung-kantornya.
Silakan ikuti terus rangkaian tulisan ini... hehehehe...

 

Bagian 6

Sumber: https://www.facebook.com/631103700433496/posts/1749180888625766/