Skip to content Skip to navigation

PENTINGNYA PUSTAKAWAN BERJEJARING: Pengantar Diskusi

Gambar 1. Ekosistem Pengembangan Profesi Pustakawan di Indonesia

Gambar 1. Ekosistem Pengembangan Profesi Pustakawan di Indonesia

Oleh Farli Enumeri

Pendahuluan

Sebagai mahkluk sosial, manusia pada dasarnya membutuhkan bantuan dari manusia lain dalam mengembangkan dirinya di kehidupan. Begitu pula ketika berbicara profesi pustakawan. Pustakawan sebagai pengelola Pustaka yang merupakan hasil karya manusia terlibat langsung berinteraksi dengan sesama manusia yang membutuhkan Pustaka. Bekerja sebagai pustakawan tidak berhadapan dengan benda mati, namun pustakawan berinteraksi dengan beragam pemikiran yang tertuang dalam naskah Pustaka tersebut dan berinteraksi pula dengan manusia dengan menyajikannya kembali kepada para pemustaka.
Berdasarkan hal tersebut, agar pustakawan dapat terus mengikuti perkembangan pengetahuan yang ada sesuai dengan kebutuhan pemustaka, salah satu hal yang perlu dilakukan pustakawan adalah berjejaring atau aktif meluangkan waktunya untuk mengembangkan dirinya melalui organisasi kepustakawanan dalam konteks peningkatan profesionalitas dirinya sebagai pustakawan dan aktif pula memelajari perkembangan ilmu pengetahuan dan karakteristik pemustakanya dengan mengikuti forum-forum atau memfasilitasi pertemuan organisasi/komunitas pemustaka yang dilayaninya.
Pentingnya pustakawan berjejaring sebenarnya bagian dari upaya agar hak-hak pustakawan dan tenaga perpustakaan terpenuhi. Dalam UU Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, hak tenaga perpustakaan disebutkan dalam Pasal 31, yaitu:
a.    Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimun dan jaminan kesejahteraan sosial;
b.    Pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas; dan
c.    Kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas perpustakaan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas.
Dalam kesempatan ini, penulis mencoba membaginya dalam tiga kelompok besar, yang sekiranya perlu dipertimbangkan oleh pustakawan untuk tidak saja sekadar bergabung dan bayar iuran anggota, namun juga setidaknya salah satu organisasi yang diikuti aktif berperan sebagai pengurus atau kepanitiaan kegiatan yang dikembangkan organisasi yang diikutinya tersebut. Secara garis besar, yaitu:
1.    Organisasi Profesi, dalam hal ini Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI);
2.    Organisasi Kepustakawanan sesuai dengan kebutuhan pustakawan dan kepentingan perpustakaan;
3.    Organisasi atau Komunitas Pemustaka.

Organisasi Profesi Pustakawan di Indonesia
Berkaitan dengan organisasi profesi pustakawan, UU Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan sebenarnya telah memberikan arahan yang cukup jelas. Pada pasal 1 poin (12) memberikan pengertian bahwa organisasi profesi pustakawan adalah perkumpulan yang berbadan hukum yang didirikan oleh pustakawan untuk mengembangkan profesionalitas kepustakawanan.
Selanjutnya terkait Organisasi Profesi disebutkan dalam Pasal 34 – 37

Bagian Ketiga
Organisasi Profesi

Pasal 34
(1) Pustakawan membentuk organisasi profesi.
(2) Organisasi profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi untuk memajukan dan memberi pelindungan profesi kepada pustakawan.
(3) Setiap pustakawan menjadi anggota organisasi profesi.
(4) Pembinaan dan pengembangan organisasi profesi pustakawan difasilitasi oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Pasal 35
Organisasi profesi pustakawan mempunyai kewenangan:
a. menetapkan dan melaksanakan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga;
b. menetapkan dan menegakkan kode etik pustakawan;
c. memberi pelindungan hukum kepada pustakawan; dan
d. menjalin kerja sama dengan asosiasi pustakawan pada tingkat daerah, nasional, dan
internasional.
Pasal 36
(1) Kode etik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf b berupa norma atau aturan yang
     harus dipatuhi oleh setiap pustakawan untuk menjaga kehormatan, martabat, citra, dan
     profesionalitas.
(2) Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat secara spesifik sanksi pelanggaran
      kode etik dan mekanisme penegakan kode etik.
Pasal 37
(1) Penegakan kode etik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) dilaksanakan oleh
      Majelis Kehormatan Pustakawan yang dibentuk oleh organisasi profesi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi profesi pustakawan diatur dalam anggaran dasar
     dan anggaran rumah tangga.

Berdasarkan UU, khususnya pasal 34 poin (b), bahwa setiap pustakawan menjadi anggota organisasi profesi, apabila dimaknai secara lebih luas maka pustakawan berkewajiban menjadi anggota organisasi profesi. Dengan kata lain, jangan ngaku pustakawan kalau belum jadi anggota organisasi profesi. Berkaitan dengan hal ini, memang tidak diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU No.43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan karena dianggap sudah jelas.
Saat ini, organisasi profesi pustakawan yang ada yaitu Ikatan Pustakaawan Indonesia (IPI).  Keberadaan IPI sampai saat ini masih sangat bergantung kepada dukungan Pemerintah, dalam hal ini Perpustakaan Nasional di tingkat Pusat dan Dinas Perpustakaan pada tingkat Daerah. Pemahaman atas pembinaan dan pengembangan organisasi profesi pustakawan difasilitasi oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat masih diartikan oleh beberapa pihak yang menjadi pimpinan organisasi berasal dari Perpustakaan Nasional di tingkat Pusat dan Dinas Perpustakaan di tingkat Daerah. Hal ini terjadi karena rendahnya perhatian sebagian besar pustakawan atas pentingnya keberadaan organisasi profesi pustakawan.
Apabila Kembali mengacu ke pasal 34 poin (b), pertanyaan “Apa yang saya dapatkan apabila menjadi anggota IPI?” sangatlah tidak relevan. Karena ketika kita menyatakan diri berprofesi sebagai pustakawan, maka harus dibuktikan dengan keanggotaannya dalam organisasi profesi. Sampai saat ini, yang terdaftar memiliki kartu anggota IPI dalam masa kepengurusan IPI tahun 2019-2022 baru berjumlah 4000-an orang yang sebagian bukan fungsional pustakawan (PNS) atau pustakawan di instansi swasta.  Jumlah yang sangat sedikit apabila dibandingkan dengan jumlah perpustakaan di Indonesia yang diklaim Perpustakaan Nasional sebanyak 164 ribu perpustakaan di Indonesia.

Organisasi Kepustakawanan
Terminologi organisasi kepustakawanan seringkali digunakan untuk memudahkan pengelompokkan organisasi yang didirikan para tenaga perpustakaan dalam berjejaring. Saat ini, setiap jenis perpustakaan memiliki Forum Perpustakaan. Dalam konteks Perpustakaan Khusus, atas inisiasi Perpustakaan Nasional dengan beragam Perpustakaan Khusus, pada tanggal 7-9 November 2000 bertempat di Yayasan Kinasih Cemerlang, Jalan Raya Bogor – Sukabumi, Forum Perpustakaan Khusus Indonesia (FPK-I) terbentuk.
Sebelumnya, beragam jejaring dalam ranah dokumentasi dan informasi sudah lama terbentuk, termasuk dibidang pertanian (Sulistyo-Basuki, 2002). Setidaknya jaringan yang telah ada, yaitu:
a.    Jaringan dokumentasi dan informasi pertanian dan biologi dengan koordinator Perpustakaan Pusat Pertanian
b.    Jaringan dokumentasi dan informasi ilmu pengetahuan dan teknologi dengan coordinator LIPI. Khusus ini perlu konfirmasi Kembali apakah jaringan ini masih ada sejak dilebur menjadi BRIN.
c.    Jaringan dokumentasi dan informasi hukum  dengan coordinator BPHN
d.    Jaringan dokumentasi dan informasi kedokteran dan Kesehatan dengan coordinator Kementerian Kesehatan
e.    Jaringan dokumentasi dan informasi Ilmu Sosial dan Budaya dengan koordinator perpustakaan Museum Nasional.
Adapula Jaringan Perpustakaan Masjid yang saat ini dihidupkan Kembali oleh Kementerian Agama. Selanjutnya, muncul pula beragam Forum Pustakawan ataupun komunitas yang harapannya dapat memperkuat kompetensi pustakawan.  Dalam ranah teknologi informasi, para pengguna aplikasi SLiMS tergabung dalam SLiMS Community.
Keberadaan Forum Perpustakaan dan Pustakawan ini apabila dilihat keadaannya, sangat bergantung dengan koordinatornya. Apabila koordinatornya kuat, maka keberadaan Forum tersebut juga kuat. Apabila tidak ada yang menyokong, maka keberadaannya mati suri. Keadaan ini khususnya yang sangat bergantung dengan instansi pemerintah.
Namun, forum-forum atau komunitas yang didirikan atas kesadaran para anggotanya karena mereka merasa membutuhkan, walaupun tidak mendapat sokongan anggaran memadai dari Lembaga induknya, mereka tetap berkegiatan. FPK-I, FPPTI, atau kalau dalam ranah hukum, terdapat Asosiasi Pekerja Informasi Hukum (APIHI) dan Jaringan Perpustakaan Hukum dan HAM (Pustakaham.id)
Adapula organisasi kepustakawanan yang berperan sebagai organisasi kesarjanaan, yaitu Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi Indonesia (ISIPII). Organisasi ini wadah berhimpun para Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi dalam pengembangan keilmuan di bidang Ilmu Perpustakaan dan Informasi serta ikut serta menawarkan gagasan dan solusi dari sudut pandang Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi Indonesia dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat.
Saat ini yang coba didorong adalah organisasi-organisasi pustakawan yang bersifat spesialisasi atas profesi pustakawan yang makin kompleks. Tingkat kompleksitas profesi pustakawan di bidang perpustakaan dapat terlihat dalam KKNI Bidang Perpustakaan yang diterbitkan dalam Peraturan Kepala Perpustakaan Nasional RI Nomor 2 Tahun 2021. Pada Pasal 4 disebutkan penjenjangan kualifikasi di bidang perpustakaan sebagai berikut:

    a. jenjang Kualifikasi 3:
    1. Pustakawan terampil;
    2. staf administrasi Perpustakaan;
    3. staf sirkulasi; dan
    4. petugas taman bacaan masyarakat.
    
    b. jenjang Kualifikasi 4:
    1. Pustakawan mahir;
    2. Tenaga Perpustakaan desa/kelurahan/kecamatan;
    3. Tenaga Perpustakaan rumah ibadah;
    4. asisten Pustakawan;
    
    c. jenjang Kualifikasi 5:
    1. Pustakawan penyelia;
    2. Pustakawan ahli pertama;
3. Pustakawan sekolah; dan
    4. pengelola informasi dan dokumentasi publik.
    
    d. jenjang Kualifikasi 6:
    1. Pustakawan ahli muda;
    2. kepala Perpustakaan khusus (tanpa fungsi pembinaan);
    3. kepala Perpustakaan sekolah;
    4. kepala subbidang/subbagian di Perpustakaan;
    5. Pustakawan layanan digital;
    6. Pustakawan layanan disabilitas;
    7. Pustakawan layanan khusus;
    8. spesialis kemas ulang informasi;
    9. Pustakawan terbitan berkala/Pustakawan serial;
    10. pengatalog;
    11. pengindeks;
    12. pengelola jurnal;
    13. Pustakawan repositori institusi;
    14. Pustakawan sistem pemula;
    15. tenaga teknologi informasi Perpustakaan;
    16. konservator koleksi tercetak; dan
    17. konservator koleksi digital.
    
    e. jenjang Kualifikasi 7:
    1. Pustakawan ahli madya;
    2. kepala bidang layanan Pemustaka;
    3. kepala bidang layanan teknis Perpustakaan;
    4. kepala bidang pelestarian bahan Perpustakaan;
    5. kepala Perpustakaan perguruan tinggi (akademi dan sekolah tinggi);
    6. kepala Perpustakaan khusus (dengan fungsi pembinaan);
    7. kepala dinas Perpustakaan kabupaten/kota;
    8. konsultan Perpustakaan/tenaga ahli Perpustakaan;
    9. Pustakawan referensi;
    10. Pustakawan penghubung;
    11. Pustakawan spesialis subjek;
    12. Pustakawan pengajar;
    13. instruktur literasi informasi;
    14. Pustakawan riset muda; dan
    15. Pustakawan sistem mahir.
    
    f. jenjang Kualifikasi 8:
    
    1. Pustakawan ahli utama;
    2. kepala Perpustakaan perguruan tinggi (universitas dan institut);
    3. kepala dinas Perpustakaan provinsi; dan
    4. Pustakawan riset senior.
    
Saat ini yang sedang didorong untuk dibentuk komunitas spesialiasi pustakawan, yaitu pustakawan referens dan pustakawan kataloger/indekser. Dengan adanya komunitas ataupun forum pustakawan yang berhubungan dengan spesialisasi ini akan memperkuat kompetensi dan pengembangan ilmu perpustakaan dan informasi ke depannya.

Organisasi atau Komunitas Pemustaka

Memahami atau bahkan terlibat dalam organisasi Komunitas Pemustaka merupakan salah satu strategi memahami kebutuhan dan perilaku informasi pemustaka. Hal ini bisa dilakukan apabila pustakawan memiliki minat atau Pendidikan terkait dengan kelompok pemustakanya. Dalam konteks pertanian, sangat memungkinkan pustakawan terlibat karena bidang pertanian terbuka untuk dipelajari setiap orang dan komunitasnya terbuka pula. Berkaitan dengan hal ini, Kembali kepada pustakawan itu sendiri, apakah tertarik untuk terlibat cukup jauh dengan menjadi anggota atau cukup aktif mengikuti forum-forum yang diselenggarakan oleh komunitas pemustaka.

Dalam konteks advokasi, pustakawan perlu mengembangkan strategi pemustaka sebagai mitra strategis, bukan sekadar konsumen, dalam upaya meningkatkan kualitas layanan perpustakaan. Dengan menjadikan pemustaka sebagai mitra strategis, maka pustakawan akan mendapatkan dukungan dari pemustaka untuk memperjuangkan hal-hal yang dibutuhkan bagi pustakawan agar dapat memberikan layanan prima.

Permasalahan Saat Ini
Organisasi profesi pustakawan sampai saat ini dalam posisi yang belum kuat. Hal ini menggambarkan karena belum kuatnya kesadaran pustakawan menjadikan organisasi profesi pustakawan untuk aktif berkontribusi mengembangkan kepustakawanan melalui organisasi profesi. Seluruh permasalahan yang dihadapi dalam dunia kepustakawanan seperti diserahkan apa adanya ke Perpustakaan Nasional. Pengamatan penulis berkecimpung di PP IPI, setidaknya 3 tahun terakhir, Perpustakaan Nasional membutuhkan banyak masukan, pendapat, gagasan, dan kontribusi aktif dari para pustakawan. Begitu pula dengan Dinas Perpustakaan di daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota. Dengan posisi mereka sebagai Pembina Perpustakaan, perlu kita dampingi agar kebijakan dan program yang dikeluarkan pro terhadap pustakawan dan menguatkan ekosistem kepustakawanan di Indonesia.
Akibat dari lemahnya organisasi profesi pustakawan, maka saat ini dalam penentuan kebijakan berkaitan dengan regulasi kompetensi dan karir pustakawan baik PNS maupun Non PNS yang tidak banyak melibatkan organisasi profesi. Termasuk pula terkait dengan Diklat Profesi Pustakawan, posisi organisasi profesi masih belum dominan dalam pengembangan program-program yang dibutuhkan pustakawan.
Berdasarkan kajian yang dilakukan Laksmi (2020), organisasi kepustakawanan yang ada belum memiliki strategi yang jelas dalam pengembangan profesi pustakawan. Organisasi kepustakawanan yang ada lebih kepada tujuan masing-masing. Pustakawan juga tidak percaya diri memerlihatkan identitasnya sebagai pustakawan ketika beraktifitas di luar lingkungan kerjanya.

Pilihan Strategi agar Pustakawan Aktif Berjejaring
Kemauan seseorang untuk aktif bekerjasama sangat bergantung terhadap seberapa besar manfaat yang dia dapat. Manfaat ini tidak hanya dinilai secara materi, tetapi juga terhadap kepuasan pribadinya, penghargaan yang dia dapat, dan kondisi lingkungan di sekitarnya. Dalam konteks profesi pustakawan di Indonesia, karena siapapun bisa jadi pustakawan, maka butuh kepemimpinan yang kuat agar para pustakawan bersedia secara ikhlas dan sukarela aktif berjejaring.
Dalam konteks manfaat pustakawan berjejaring dengan organisasi pemustaka, setidaknya sebagai berikut:
a.    Meningkatkan dan memperluas kesempatan pustakawan untuk mengakses Pustaka yang dimiliki oleh Perpustakaan, Pusat Informasi atau Lembaga terkait dalam pemenuhan kebutuhan informasi pemustaka dan pustakawan itu sendiri;
b.    Meningkatkan kapasitas pustakawan untuk selalu up-date terhadap perkembangan ilmu pengetahuan terbaru terkait dengan kebutuhan pemustaka;
Adapun manfaat pustakawan berjejaring dalam organisasi profesi dan kepustakawanan, setidaknya yaitu:
a.    memperkuat modal sosial pustakawan dalam meningkatkan perannya di masyarakat dan terlibat dalam pemecahan masalah sosial di masyarakatnya;
b.    memperkuat posisi tawar pustakawan dalam advokasi kebijakan;
c.    meningkatkan kualitas kompetensi, manajerial, dan kepemimpinan pustakawan
d.    Meningkatkan dan memperluas kesempatan pustakawan untuk mengakses Pustaka yang dimiliki oleh Perpustakaan, Pusat Informasi atau Lembaga terkait dalam pemenuhan kebutuhan informasi pemustaka dan pustakawan itu sendiri
Apabila mengamati ekosistem kepustakawanan Indonesia, agar pustakawan aktif dalam pengembangan profesi pustakawan, ada 4 +1 institusi yang terlibat, yang tergambarkan pada gambar 1 di awal artikel ini

Ekosistem Pengembangan Profesi Pustakawan di Indonesia
Adapun + 1, yaitu dukungan dan kebijakan Lembaga induk. +1 menjadi kunci bagi pustakawan agar dapat terlibat dalam pengembangan profesi pustakawan. Untuk itu, penulis mengupas hal ini terlebih dahulu.

Dukungan dan Kebijakan Lembaga Induk terhadap Pustakawan
Pengembangan karir pustakawan sangat bergantung terhadap dukungan dan kebijakan Lembaga induk. Hal ini berlaku bagi seluruh jenis perpustakaan, baik itu perpustakaan yang dikelola pemerintah maupun swasta. Bagi pemerintah, walaupun Perpustakaan Nasional dan Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi telah mengeluarkan beragam Peraturan yang mendorong pustakawan untuk aktif dalam organisasi profesi dan kepustakawanan, tetap kuncinya ada di pimpinan Lembaga induk dan Kepala Perpustakaan.
Pertanyaan mendasar, apakah dukungan dan kebijakan Lembaga induk terhadap pustakawan turun dengan Cuma-Cuma atau membutuhkan masukan dan bukti kongkret kepada pimpinan dan kepala perpustakaan ?
Di sinilah ujian pertama dan kunci untuk masuk ke tahap berikutnya. Dalam kontek Indonesia, sangat beruntung apabila pustakawan memiliki kepala Perpustakaan dan pimpinan Lembaga induk yang peduli memaksimalkan kinerja perpustakaan terlibat aktif dalam organisasi dan aktif berjejaring, tidak sekadar organisasi pendukung belaka. Namun, bagi Perpustakaan yang dipimpin oleh Non-Pustakawan, maka pustakawan memiliki kerja tambahan, yaitu mendampingi Kepala Perpustakaan agar secara cepat dan tepat memahami apa itu perpustakaan, Pustaka, dan Pustakawan. Pendampingan ini dapat dikatakan melakukan advokasi internal agar Kepala Perpustakaan dapat mempresentasikan dengan baik beragam rencana strategik, rencana teknis dan kebutuhan yang diperlukan serta kebijakan yang perlu diambil pimpinan Lembaga induk agar apa yang direncanakan mendapat dukungan penuh dari pimpinan Lembaga induk.
Advokasi seperti ini tentu saja tidak sesederhana yang diucapkan, karena yang didampingi adalah pimpinan perpustakaan yang bisa jadi ego-nya tinggi dan tidak mudah menerima masukan dari pustakawan yang dia anggap bawahannya. Apalagi kalau Kepala Perpustakaan tersebut merasa dia dibuang oleh pimpinannya. Untuk itu, kemampuan pustakawan untuk melakukan pendampingan, sabar, dan tidak mudah putus asa menjadi kunci.
Pustakawan selain memiliki keahlian baik itu hard skill dan soft skill, keilmuan, manajerial, dan advokasi, juga memiliki kemampuan leadership yang kuat. Kelima kemampuan ini idealnya dikuasai oleh pustakawan. Suatu hal yang tidak mudah tapi menjadi suatu keharusan bagi pustakawan di Indonesia. Untuk itu, rasa bangga sebagai pustakawan harus selalu ditumbuhkembangkan. Sikap apatis, pesimis, dan hal-hal negatif lainnya harus dibuang jauh-jauh.
Untuk itu, bagi suatu perpustakaan besar seperti PUSTAKA, pustakawan-pustakawan senior berperan untuk memfasilitasi pustakawan yang lebih muda untuk menumbuhkan rasa bangga dan aktif memberi motivasi sebagai pustakawan dengan memberikan contoh kepada mereka bagaimana melakukan advokasi kebijakan dan pendampingan kepada Kepala Perpustakaan dan Pimpinan Lembaga induk. Apabila dukungan dan kebijakan pimpinan Lembaga induk sudah ada, maka barulah masuk ke aktivitas berikutnya, terlibat aktif dalam organisasi profesi.

Keaktifan Pustakawan dalam Organisasi Profesi
Seperti yang diungkap dalam permasalahan yang ada, tidak banyak fungsional pustakawan yang tergabung dalam organisasi profesi pustakawan, dalam hal ini IPI. Bahkan hanya untuk sekadar sebagai anggota IPI masih minim sekali. Padahal menjadi anggota organisasi profesi menjadi suatu keharusan bagi pustakawan. Penulis sendiri sejak tahun 2012 dalam Diskusi Kepustakawanan dalam rangka peringatan Hari Ulang Tahun Pendidikan Ilmu Perpustakaan di Indonesia, bertempat di Auditorium FIB UI, bahwa perlu ada perubahan radikal agar organisasi profesi pustakawan IPI dapat benar-benar terasa manfaatnya bagi para pustakawan.
Organisasi profesi Pustakawan tidak saja dilihat berfungsi sebagai perlindungan profesi, menegakkan kode etik, Pendidikan dan pembinaan serta kerja sama. IPI memiliki posisi strategis memengaruhi kebijakan-kebijakan berhubungan dunia kepustakawanan yang berada di bawah otoritas Perpustakaan Nasional pada tingkat pusat dan Dinas Perpustakaan pada tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota. IPI dapat berhubungan langsung pula dengan mitra kerja Perpusnas, seperti Kemendikbud Ristek, Kemenag, Kemendagri, dan beragam kementerian yang berhubungan dengan perpustakaan, termasuk dalam hal ini DPR.
Organisasi profesi pustakawan apabila kuat memiliki posisi tawar yang kuat pula ketika berhubungan dengan Program Studi Ilmu Perpustakaan yang menjamur saat ini. Keterlibatan organisasi profesi, khususnya IPI masih belum kuat memberikan pengaruh sesuai dengan standra profesi pustakawan.
Tidak kalah penting, agar organisasi profesi IPI kuat, perlu ditopang pula dengan dukungan dari organisasi kepustakawanan yang ada di Indonesia. Organisasi profesi pustakawan IPI idealnya menjadi rumah Bersama organisasi kepustakawanan di Indonesia. Apakah memungkinkan?
Penguatan Organisasi Profesi tidak bisa lagi hanya mengandalkan Perpustakaan Nasional atau Dinas Perpustakaan di daerah. Namun, harus dari kesadaran bersama para pustakawan bahwa profesi pustakawan akan kuat apabila setiap berkontribusi aktif mengembangkan organisasi profesi pustakawan. Pola organisasi IPI perlu berubah. Tidak bisa lagi model seperti yang ada saat ini. Pola pelibatan beragam organisasi kepustakawanan dalam IPI secara formil perlu dipertimbangkan dan dikembangkan. Beragam opsi dapat diterapkan mengenai hal ini. Tergantung kesepakatan bersama para pustakawan melalui Kongres IPI.  

Opsi Lain, Aktif Organisasi Kepustakawanan atau Organisasi Pustakawan
Perlu disadari Bersama, tidak banyak pustakawan yang tertarik untuk aktif meluangkan waktunya dalam organisasi profesi pustakawan. Apalagi apabila peran IPI lebih kepada advokasi kebijakan, pengembangan kurikulum Pendidikan dan pelatihan-pelatihan atau hal-hal yang bersifat abstrak merupakan sesuatu yang terbatas sekali pustakawan yang memiliki minat mengenai hal ini.  Pilihan lain yang dapat dilakukan pustakawan adalah aktif mengikuti organisasi kepustakawanan atau organisasi pustakawan.
Dalam konteks organisasi kepustakawanan, untuk perpustakaan khusus telah ada Forum Perpustakaan Khusus Indonesia. Dalam ranah pertanian, Kementerian Pertanian selaku coordinator Pusat Jaringan Informasi dan Dokumentasi Pertanian. Keaktifan dalam organisasi ini juga sangat dibutuhkan. Pustakawan dapat pula membentuk organisasi pustakawan yang spesifik atas suatu subjek tertentu, misalkan di Kementerian Pertanian, maka pustakawan dapat membentuk komunitas pustakawan yang khusus mendiskusikan ragam Pustaka pertanian. Selain itu, dapat pula tergabung dalam organisasi pustakawan atas spesialisasi tertentu, misalkan Komunitas Pustakawan Referens, Pustakawan Kataloger dan Indekser, maupun lainnya. Paling mudah adalah mengacu dari Perka Perpusnas Nomor 2 Tahun 2021 tentang KKNI Bidang Perpustakaan.

Opsi Berikutnya, Aktif Berjejaring dalam Komunitas Pemustaka
Pustakawan dapat pula membangun jejaring antar komunitas Pemustaka. Dalam konteks Pertanian, banyak jejaring dan simpul terkait dengan bidang pertanian. Mulai dari penyuluh pertanian, analis pertanian, organisasi-organisasi berkaitan dengan pertanian, maupun komunitas lainnya. Dalam berjejaring dengan komunitas pemustaka, jangan lupa, kita harus percaya diri sebagai pustakawan.
Dengan tetap memosisikan diri kita sebagai pustakawan, maka pemustaka menjadi bagian dari mitra strategis, bukan sekadar konsumen dalam upaya meningkatkan kualitas layanan perpustakaan. Ketika kita aktif berjejaring dengan pemustaka, maka pemustaka dapat menjadi penyemangat kita dalam memperjuangkan sekiranya terjadi hal-hal yang merugikan dunia kepustakawanan.
Kesempatan berjejaring yang penulis amati di bidang pertanian relative terbuka dibandingkan dengan bidang hukum. Profesi-profesi bidang hukum relative tertutup karena mensyaratkan harus berpendidikan sarjana hukum barulah dapat tergabung dalam komunitas-komunitas mereka. Yang memungkinkan hanyalah sebagai peserta yang baik dalam kegiatan-kegiatan seminar yang mereka lakukan.

Jangan Lupa, Berkolaborasi dalam Berkegiatan
Sebagai penutup, seringkali dalam pengembangan program kita merasa program tersebut adalah program kita atau unit kerja semata. Dalam berjejaring, program-program yang kita miliki ataupun sarana prasarana yang kita miliki sebagai pengelola institusi perpustakaan dapat kita tawarkan untuk berkolaborasi dengan institusi lain.
Misalkan, program perpustakaan Setjen Kementan, berkaitan dengan pengumpulan hibah buku dan menyalurkan buku-buku ke daerah-daerah 3T . Sangat menarik apabila program tersebut berkolaborasi dengan FPK-I, FPPTI, ISIPII, Perpusnas, dan Dinas Perpustakaan yang akan menjadi tujuan hibah buku tersebut. Walaupun terkesan rumit, namun, dampak yang dihasilkan kemungkinan akan jauh lebih besar dibandingkan hanya dikerjakan perpustakaan Setjen Kementan sendiri.
Keaktifan pustakawan dalam berorganisasi baik di organisasi profesi, organisasi pustakawan ataupun organisasi atau komunitas pemustaka diharapkan dapat menjadi motor penggerak dalam perubahan ekosistem yang ada. Tugas para pustakawan ahli utama dan pimpinan organisasi profesi dan kepustakawanan adalah memperbanyak “Roda Gendheng” yang aktif mengelola organisasi profesi dan organisasi kepustakawanan agar organisasi bergerak secara dinamis. Tidak saja programnya namun juga para pengurusnya. Makin banyak kesempatan pustakawan yang terlibat aktif berorganisasi akan jauh lebih baik.

Daftar Pustaka

Forum Perpustakaan Khusus Indonesia: Sejarah. https://fpki.or.id/forum-perpustakaan-khusus-indonesia/
Laksmi dan Elnumeri, Farli.(2020). Issues Of Social Capital In Developing Collaboration Of Information Professional Organizations In Indonesia, Libraria: Jurnal Perpustakaan, Vol.8, No.2, Desember p.181-210,  https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/Libraria/article/view/7379
Perpustakaan Nasional.(2021). Peraturan Perpustakaan Nasional Nomor 2 Tahun 2021 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia Bidang Perpustakaan. https://jdih.perpusnas.go.id/file_peraturan/PERKA_2_2021_KKNI_Bidang_Per...
Sulistyo-Basuki.(2002). Beberapa Gagasan tentang Rencana Praktis Jaringan Dokumentasi dan Informasi bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Ilmu Pengetahuan Budaya, Visi Pustaka, Vol. 04 No. 2 - Desember 2002, https://www.perpusnas.go.id/magazine-detail.php?lang=id&id=8101