Skip to content Skip to navigation

Perpustakaan Sekolah Belum Optimal

KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR

Pegiat Yayasan Ayo Membaca Indonesia Dewi Utama Fayza (tengah) menjelaskan bacaan anak bersumber dari tradisi lokal sebagai materi literasi di sekolah.

JAKARTA, KOMPAS — Perpustakaan sebagai pusat literasi belum berkiprah maksimal. Dibutuhkan penguatan perpustakaan sekolah beserta pembangunan jaringan dengan taman-taman bacaan di masyarakat guna memastikan gerakan literasi berjalan.

“Perpustakaan sekolah mayoritas masih diperlakukan sebagai gudang buku,” kata Asep Saiful, dosen ilmu perpustakaan dan informasi Universitas Padjadjaran yang juga pegiat Gerakan Literasi Sekolah (GLS) di sela-sela “Sarasehan Literasi Sekolah ke-3: Bacaan Bermutu dalam Praktik Baik Literasi Sekolah” Sekolah” di Jakarta, Sabtu (12/5/2018).

Gudang buku berarti tidak ada kurasi buku sesuai minat dan kebutuhan siswa. Menurut Asep, buku-buku yang ada kebanyakan adalah buku-buku tua ataupun buku yang dengan topik tidak sesuai minat siswa, terutama siswa SD.

Ia memaparkan, umumnya sekolah beralasan tidak memiliki cukup anggaran untuk mengembangkan dan mengelola perpustakaan yang baik. Padahal, salah satu ketentuan penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah adalah membangun perpustakaan dan melengkapi koleksinya.

Pustakawan

Asep mengungkapkan, salah satu penyebab tidak adanya kurasi buku di perpustakaan sekolah ialah karena tidak adanya pustakawan profesional. Ia mengutip data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang menyatakan bahwa 96 persen perpustakaan sekolah tidak memiliki pustakawan.

“Pengurus perpustakaan umumnya adalah guru yang diberi tugas tambahan,” tuturnya. Pelatihan kepustakaan yang diberikan kepada mereka sebatas teknis penomoran dan penyusunan buku.

Asep menjelaskan, harus ada pelatihan mengenai fungsi pustakawan dalam merencanakan gerakan literasi di sekolah. Di dalamnya mencakup pemenuhan koleksi buku sesuai kebutuhan siswa dan guru di sekolah tersebut.

Dalam prosesnya, perpustakaan sekolah bisa berjejaring dengan taman-taman bacaan di lingkungan sekitar untuk menciptakan sistem peminjaman buku. Selain itu, di setiap kelas juga diadakan pojok membaca, yaitu sudut kelas dengan rak buku berisi berbagai jenis buku yang sesuai dengan tingkat umur siswa.

“Pustakawan setelah dilatih mengenai literasi hendaknya juga diberi kewenangan memilah dan memilih buku untuk dikoleksi. Dengan demikian, perpustakaan sekolah tidak sekadar pasif menunggu sumbangan buku-buku dari pihak lain,” ujar Asep.

Bijak hidup

Ketua Harian GLS Wien Muldian mengungkapkan, literasi tidak hanya kemampuan membaca dan menulis, melainkan pendidikan menyeluruh mengenai karakter, kecerdasan finansial, pengetahuan sains, penggunaan media digital yang baik, dan kewarganegaraan. Tujuan literasi ialah mendidik untuk menghasilkan manusia yang bijak dalam mengambil keputusan.

Pemahaman tersebut harus giat disosialisasikan kepada guru dan orangtua. Selama ini, tantangan terberat ialah guru dan orangtua menganggap literasi sebagai tugas tambahan, bahkan beban.

“Pendekatan yang semestinya diambil ialah menjelaskan bahwa literasi adalah inti dari pendidikan. Guru dan orangtua harus menjadi teladan,” kata Wien. Dengan begitu, guru dan orangtua juga termotivasi untuk terus membaca dan menambah wawasan.

Add new comment

Plain text

  • No HTML tags allowed.
  • Web page addresses and e-mail addresses turn into links automatically.
  • Lines and paragraphs break automatically.
CAPTCHA
This question is for testing whether or not you are a human visitor and to prevent automated spam submissions.
Image CAPTCHA
Enter the characters shown in the image.