Skip to content Skip to navigation

LEBIH LANJUT TENTANG INTEGRASI DOKUMENTASI

PENDAHULUAN

Di Indonesia, kerjasama antar perpustakan dalam sistem jaringan berawal pada 1971. Saat itu disepakati dibangunnya 4 sistem jaringan untuk ilmu sosial, ilmu pengetahuan-teknologi, ilmu biologi-pertanian, dan ilmu kedokteran-kesehatan. Sejak saat itulah muncul berbagai jaringan kerjasama dalam berbagai bidang lainnya. Sistem Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional (JDIH Nasional) akhirnya dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 91Tahun 1999. Selanjutnya keputusan itu diperbaharui dengan Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2012. Dari berbagai kerjasama dalam sistem jaringan yang pernah dan masih ada, JDIH Nasional memiliki landasan hukum tertinggi karena diatur dengan sebuah Peraturan Presiden. Dengan demikian sudah seharusnya pelaksanaan dokumentasi hukum dilaksanakan dengan baik dan benar.  JDIH Nasional harus menjadi benteng terakhir menyangkut informasi dan pengetahuan terkait hukum dan perundang-undangan Indonesia.  

Pemerintah RI sebenarnya telah memberikan perhatian besar pada bidang perpustakaan dan dokumentasi. Pada 1961, terbit Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 1961, tentang tugas-kewajiban dan lapangan pekerjaan dokumentasi dan perpustakaan dalam ling­kungan pemerintah.­ Kegiatan dokumentasi selanjutnya memang mengacu pada peraturan ini. Dengan peraturan tersebut sudah dibedakan tugas perpustakaan dengan tugas dokumentasi. Sayang, baik praktisi maupun akademisi bidang perpustakaan-dokumentasi kurang tertarik untuk mengembangkan ilmu yang menjadi dasar pelaksanaan tugas mereka.  Hanya saja yang dimaksud dokumentasi dalam peraturan ini terbatas pada dokumentasi pustaka dan belum mencakup dokumentasi benda (korporil) atau dokumentasi non-pustaka. Hanya saja sampai kini juga belum ada konsep atau aturan yang jelas tentang dokumentasi non-pustaka itu.

Ilmu Dokumentasi di Indonesia tidak berkembang. Hal ini jauh berbeda dengan Ilmu Perpustakaan. Studi penulis atas perkembangan dokumentasi di Indonesia dari 1973 sampai kini, menemukan bahwa dokumentasi memang terlupakan. Keterlupaan akan dokumentasi tidak saja terjadi di Indonesia (nasional), namun juga di ranah internasional (Sudarsono, hlm 85-102, 2016). Memang ilmu perpustakaan sendiri kini dalam posisi di simpang jalan karena lebih populernya sebutan ilmu informasi. Sekolah yang dahulu menyebut dirinya sekolah ilmu perpustakaan menambahkan kata informasi pada namanya menjadi Ilmu Perpustakaan dan Informasi (IP&I). Asosiasi Penyelenggara Pendidikan Tinggi Ilmu Perpustakaan dan Informasi (APTIPI) bahkan telah menyepakati Kurikulum Kompetensi Nasional Indonesia (KKNI), yang di dalamnya muncul istilah baru yaitu Sains Informasi. Apa pula maksudnya? Demikian cepat perkembangan situasi keilmuan. Akankah para praktisi tetap tidak akan memperhatikan fenomena tersebut?

Langkah awal praktisi untuk lebih memperhatikan fenomena tersebut adalah dengan membangun komunikasi dengan pihak akademisi. Interaksi kaum praktisi dan akademisi tentu menjadi mutlak dilakukan. Interaksi ini diharapkan  menjadi kebiasaan yang mengakar. Bukankah suatu praktik harus berangkat dari teori agar dapat dikatakan sebagai kerja profesional? Sebaliknya dari praktik itu juga dapat dirumuskan teori setelah diuji secara akademik. Karena proses siklus itulah mengapa menjadi sangat penting adanya interaksi yang berkesinambungan antara praktisi dan akademisi dalam mengembangkan suatu bidang keilmuan (Sudarsono, 2017).

Uraian ini tidak akan membahas perkembangan ilmu dokumentasi secara lengkap. Hasil studi penulis tentang perkembangan ilmu dokumentasi yang lebih lengkap, dapat dibaca dalam buku berjudul: Menuju Era Baru Dokumentasi (MEBD) yang diterbitkan oleh LIPI Press, 2016, 258 hal. Buku itupun penulis katakan, baru “mengantar ke gerbang kemerdekaan berpikir” tentang  dokumentasi. Ditunjukkan begitu luas cakrawala ilmu dokumentasi yang berfokus pada studi dokumen. Dokumen berada pada posisi pusat dan dilihat secara 360⁰ dari berbagai bidang (disiplin) keilmuan (Sudarsono, hlm 133, 2016). Begitu luasnya bidang bahasan studi dokumentasi. Dokumen tidak terbatas hanya pada dokumen literer, namun mencakup pula realita sosial baik yang sudah maupun yang belum terekam. Oleh karena itu, adanya Teori Umum Dokumentasi (General Theory of Documentation) jelas menjadi keniscayaan.

Tujuan uraian ini untuk memberikan wawasan baru perkembangan dunia dokumentasi. Maka apa yang disampaikan selanjutnya lebih berupa kutipan beberapa pokok terpenting dari studi dan pemikiran penulis yang disampaikan dalam buku MEBD. Sengaja dipilih bahasan tentang 1) “konsep baru dokumentasi”; 2) “konvergensi lembaga-lembaga dokumenter”; dan 3) “logika dokumentasi”. Sangat diharapkan dengan uraian ini kegiatan JDIH Nasional akan berminat mempertimbangkan ilmu dokumentasi baru dan sekaligus juga mempelajari dan mengembangkannya. Hendaknya juga dipikirkan “beyond” integrasi dokumentasi atau Lebih Lanjut Tentang Integrasi Dokumentasi khususnya dalam bidang peraturan perundangan.

KONSEP BARU DOKUMENTASI

Telah disebut di muka bahwa objek dokumentasi di Indonesia masih terbatas pada sekedar dokumentasi pustaka, belum memasukkan dokumentasi benda atau dokumentasi korporil. Sejak 1989 penulis sudah mempertanyakan mengapa dokumentasi non-pustaka itu belum mempunyai aturan. Hal ini penulis pertanyakan karena waktu itu penulis ditugasi untuk mulai membangun basis data keanekaragaman hayati (biodiversity database). Artinya yang didokumentasikan tidak terbatas hanya pada data pustaka. Spesimen botani maupun artefak zoologi menjadi lebih penting di samping data bibliografi keanekaragaman hayati. Sebagai praktisi, penulis tentu mencari peraturan atau perundangan yang dapat dipakai sebagai pedoman. Sayang peraturan itu belum ada. Referensi ilmiah juga belum ada. Maka penulis lalu menyusun suatu konsep dokumentasi yang diberi judul: Logika Dokumentasi, meski waktu itu masih berbasis pada dokumen pustaka.

 

Paul Otlet dan Henri La Fontaine mengawali ilmu dokumentasi pada 1895. Penelusuran sejarah dokumentasi di Indonesia maupun di dunia internasional (dalam hal ini USA) menemukan fakta bahwa dokumentasi memang terlupakan. Indonesia sudah menjadi anggota Federasi Dokumentasi Internasional (FID) pada 1950. Namun praktik dokumentasi tidak pernah digarap menjadi ilmu dokumentasi yang jelas. Di Amerika Serikat awalnya ada American Dokumentation Instiute (ADI), yang lahir pada 1937. Kemudian berubah menjadi American Society for Information Science (ASIS). Terakhir menjadi American Society for Information Science and Technology (ASIS&T). Ilmu informasi (information science) mendominasi hingga sekarang. Dokumentasi lalu terlupakan di USA.

Studi dokumentasi selalu berawal dengan pertanyaan apakah sebenarnya dokumen itu? Pertanyaan itu sudah muncul saat pertama Paul Otlet dan Henri La Fontaine mengawali ilmu dokumentasi pada 1895.  Penulis membagi pemahaman atas dokumen dalam dua masa, yaitu masa awal lahirnya dokumentasi sampai munculnya gerakan dokumentalis baru, serta masa sesudahnya sampai sekarang. Tepatnya 1895–2003 dan 2003 sampai kini. Mengapa 2003 sebagai tahun penanda? Ini karena pada 2003, Document Academy Meeting (Pertemuan Tahunan Akademi Dokumen) atau DOCAM mulai diselenggarakan. Penulis sebut saja masa Pra-2003 dan Pasca 2003 agar lebih mudah menyebut dan mengingatnya.

Masa Pra-2003

Penemuan mesin cetak dan meluasnya revolusi industri di Eropa berakibat semakin melimpahnya karya cetak dan karya tulis ilmiah. Keadaan ini menjadikan semakin sukar bagi seseorang untuk mengikuti perkembangan, meski dalam bidangnya sendiri. Untuk mengatasi permasalahan itu, Paul Otlet dan Henri La Fontaine mengerjakan daan mengenalkan apa yang mereka sebut dokumentasi. Mereka berpendapat bahwa buku tercetak memiliki berbagai kelemahan, seperti format kurang luwes, pembagian pada halaman dan paragraf tidak selalu sesuai dengan arti yang dimaksud, dengan narasi sering mengulang-ulang dan tidak perlu.

Dengan kata lain, menurut mereka, buku kurang efisien dalam upaya menyampaikan pengetahuan. Mereka memikirkan perlu adanya sejenis ensiklopedia berbentuk susunan kartu yang selalu dapat ditambah dan dimutakhirkan. Sistem jajaran kartu itu dapat merekam atau mencatat semua pengetahuan umat manusia sehingga pantas disebut otak dunia (world brain). Jadi, dokumentasi terkait dengan proses penyeleksian, pengoleksian, penyusunan, dan peng­indeksan dokumen. Tentu segera muncul pertanyaan mengenai apa sebenarnya yang disebut dokumen itu?

Perhatian pertama tertuju pada teks tercetak. Karena dokumen termasuk sebagai bukti, maka teks tertulis juga disebut sebagai dokumen. Demikian juga diagram, lukisan, peta, dan foto. Paul Otlet melihat artefak dalam museum adalah juga sumber pengetahuan, sehingga dimasukkan sebagai dokumen. Sampai pada tahap ini, penulis menyimpulkan dokumen yang dimaksud Paul Otlet adalah dua dimensi tertulis atau tercetak, atau dalam format lain, serta dalam tiga dimensi tidak hidup. Singkatnya penulis sebut sebagai dokumen dua dan tiga dimensi mati.

Pada 1951, Suzanne Briet menerbitkan  manifestonya tentang dokumentasi. Briet menyata­kan bahwa binatang termasuk dokumen.  Briet menyebut antelope (spesies baru yang dipelihara untuk keperluan taksonomi dan penelitian) adalah dokumen primer. Semua deskripsi serta data pengamatan yang dicatat adalah dokumen sekunder. Dengan ditambahkannya antelope sebagai dokumen, penulis dapat mengatakan bahwa dokumen dilihat secara fisiknya terdiri atas dua kelompok, yaitu dua dimensi mati, dan tiga dimensi mati atau hidup. Baik Otlet maupun Briet berbicara tentang memori, preservasi, dan perekaman dalam kaitannya dengan dokumen. Agar benar menjadi dokumen, diperlukan adanya bentuk fisik yang permanen, berfungsi sebagai memori (ingatan), dan dapat disimpan secara fisik.

Pendapat lain tentang dokumen datang dari Donker Duyvis.Tidak hanya memandang dari sisi fisik atau materi saja, dia memandangnya juga dari sisi spiritual. Dia menyebutkan tentang dimensi spiritual dokumen (a spiritual dimension to documents). Donker memaknai dokumen sebagai ekspresi pikiran manusia seperti pendapat Otlet. Donker menggunakan pendekatan tersebut mengikuti kerangka Anthroposophy (suatu gerakan spiritual berbasis paham bahwa ada dunia spiritual yang komprehensif pada pikiran yang murni dan hanya dapat diakses oleh tingkatan tertinggi mental knowledge). Donker Duyvis sangat sensitif pada apa yang kini kita kenal dengan aspek kognitif media pesan.

Ranganathan dari India mempunyai pemaknaan lain mengenai dokumen. Ranganathan menyatakan dokumen dengan istilah microthought on a flat surface. Ranganathan menolak memasukkan materi audiovisual, radio, dan komunikasi melalui televisi sebagai dokumen. Ranganathan yakin bahwa dokumen sinonim dengan hasil pikir yang terekam di kertas, yang dapat dipegang secara fisik, dan dapat dilestarikan sepanjang masa. Di Amerika Serikat, pandangan simplisistik dicetuskan Louis Shore dengan mengatakan bahwa dokumen adalah rekaman tekstual, yang dapat mencakup komunikasi audio visual yang disebut the generic book. Jesse H. Shera juga sama sederhananya dengan menyebut apa yang dimaksud Louise Shore itu the graphic record.

 

Masa Pasca-2003

Pada 1987 Michael K. Buckland mempermasalahkan bangkai burung yang disimpan di museum ornitologi di kampus Berkeley. Setelah memperoleh penjelasan staf museum, dia kemudian berpendapat bahwa bangkai burung itu seperti juga pustaka dalam sebuah perpustakaan. Namun dia belum menemukan referensi ilmiah untuk mendukung pendapatnya itu. Keheranan Buckland atas bangkai burung di museum ornitologi di Berkeley terjawab dengan karya Suzanne Briet yang diterimanya pada 1988 dari Rayward. Seperti diketahui, Rayward adalah penyusun disertasi tentang Paul Otlet dan perkembangan ilmu doumentasi di Eropa. Karya Briet inilah yang memicu Buckland untuk mulai mempelajari gerakan dokumentasi di Eropa akhir abad 19. Jadi apa yang dipikirkan Buckland pada 1987 itu sudah ditulis hampir 40 tahun sebelumnya oleh Briet. Barulah disadari bahwa perlu dipelajari sejarah dan praktik dokumentasi yang lahir dan berkembang di Eropa, yang waktu itu tidak diperhatikan di Amerika.

Di Norwegia, Niels W. Lund membuka sekolah ilmu dokumentasi (School of Documentation Studies). Ada tiga alasan pembangunan sekolah tersebut, yaitu:

1.      Alasan budaya dan politis. Tidak berminatnya pustakawan bekerja di bagian paling utara dari Norwegia, maka perlu dibangun sekolah setempat.

2.      Adanya minat kuat dari kalangan pustakawan Norwegia untuk mempelajari real academic program sebagai landasan ilmiah dalam berprofesi.

3.      Undang-undang deposit yang baru di Norwegia mengharuskan publikasi dalam segala bentuknya didepositkan, memerlukan landasan teori, dan memilih studi dokumentasi sebagai ilmu intinya.

Selanjutnya Buckland dan Lund mendirikan Document Academy. Akademi ini mengadakan pertemuan Document Academy Meeting (DOCAM) tiap tahun sejak 2003. Dalam sidang-sidang DOCAM, ditampilkan hasil studi tentang dokumen ditinjau dari berbagai sudut pandang. Tanggapan positif atas DOCAM menghasilkan teori baru  dokumentasi yang intinya adalah studi dokumen. Buckland mengatakan bahwa antar anggota suatu komunitas, baik manusia maupun hewan, berkomunikasi menggunakan bahasa tubuh,bahasa lisan, maupun menggunakan objek fisik sebagai penanda akan sesuatu. Interaksi maupun kontrol sosial itu lama-lama semakin tidak langsung karena menggunakan dokumen. Kita semakin tergantung pada dokumen. Menurut Buckland, istilah document society lebih tepat daripada information society. Masyarakat dokumen tentu berfokus pada dokumen dan dokumentasi.

Penelusuran Lund akan makna dokumentasi berawal dari mencari arti kata itu dalam kamus kuno Bahasa Prancis. Asal mulanya dari bahasa Latin documentum. Arti kata ini dalam Bahasa Latin terkait dengan contoh, model, pelajaran, mengajar dan menunjukkan. Dapat disimpulkan bahwa pelajaran yang disampaikan secara lisan adalah sejenis dokumen juga. Arti dan makna tersebut, kini sudah terlupakan. Kini selain dilihat sifat bibliografisnya, dokumen biasa terkait dengan sifat hukum dan ilmiah. Dokumen adalah sesuatu yang mendukung fakta dengan bukti tertulis. Dalam sejarahnya, pengadilan selalu memutuskan perkara berdasarkan adanya bukti tertulis ini.

Demikian juga dalam lingkup ilmiah. Ilmuwan menulis apa yang mereka temukan ke dalam artikel ilmiah. Siapa yang lebih dulu menulis dokumen ilmiah, dialah yang berhak atas penemuan baru itu. Ada 3 hal yang dapat disimpulkan. Pertama, dokumen pada dasarnya adalah objek tertulis. Kedua, dokumen adalah bukti. Ketiga, dokumen adalah pembawa informasi.

Terkait dengan kenyataan bahwa dunia semakin mendigital, Lund mempertanyakan kedudukan dokumen yang kita buat dengan  program pengolah kata itu. Tidak ada wujud fisik dokumen, kecuali kita membuatnya tercetak. Hal ini berlawanan dengan konsep dokumen konvensional. Lund berpendapat bahwa dalam situasi digital, dokumen adalah konsep satuan yang diskrit (dalam hal ini disebut bit), yang diperlukan orang untuk dibaca, dilihat, atau didengar. Oleh karena itu, dokumen tidak harus berwujud objek fisik yang tetap. Hal itu sesuai dengan arti kata dokumen pada masa lalu, di mana makna dokumen sebagai pelajaran, maka ujaran maupun bahasa tubuh adalah juga dokumen.

Lund membangun teori umum dokumentasi yang disebut complementary theory of documents. Menurut teori ini, ada tiga hal komplementer yang tak terpisahkan dalam sebuah dokumen, yakni:

1.      aspek teknis dan teknologis sebuah dokumen;

2.      peran sosial dari dokumen; dan

3.      aspek mental, dalam hal ini relasi aspek intelektual dan kognitif antara individu dan dokumen.

Buckland mengamati bahwa keberadaan literatur tentang teori dokumen belumlah memadai. Dia mengutip Lund bahwa secara umum literatur itu dapat dikelompokkan yang bersifat teknis mengenai dokumen itu sendiri, dan yang bersifat sosial ya itu tentang peran dokumen dalam masyarakat.

Teori profesional tentang dokumen dan dokumentasi terkait erat dengan dokumen itu sendiri dan isinya (yang bersifat teknis dan teknologis). Pentingnya sebuah dokumen ditunjukkan dengan adanya minat kuat pada beragam segmen dari dokumen itu, termasuk:

1.      bibliografi: terkait dengan deskripsi dokumen dan seleksinya untuk tujuan khusus;

2.      temu kembali informasi: penyortiran dan seleksi rekord dalam kaitannya dengan relevansi dokumen;

3.      bibliometri: (analisis sitiran) terkait dengan hubungan formal dan kuantitatif antara orang dan dokumen;

4.      kajian teks: termasuk studi interpretatif hubungan antarteks.

Teori umum dokumen erat kaitannya dengan apa yang dapat dikerjakan dengan dokumen. Tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri, namun juga terkait dengan kepentingan masyarakat luas. Coba kita lihat dokumen pribadi yang kita miliki. Apakah fungsi sosial dari akta lahir kita, kartu penduduk kita, dan paspor. Apakah dokumen itu dibuat hanya untuk diri kita saja? Tentu ada fungsi sosial lain yang mungkin kita tidak menyadari. Daftar pertanyaan ini tentu dapat kita teruskan dengan jenis dan fungsi sosial dokumen, dan akan menjadi daftar panjang tak terhingga. Dalam daftar panjang itu, akan ada “keberadaan” kita di dalamnya. Dengan kata lain, hidup kita tidak dapat terlepas dari adanya dokumen.

Lund menyebutkan ada tiga unsur dalam teori komplementernya. Namun yang belum diterangkan menurut Buckland adalah unsur ketiga, yaitu sisi mental. Selayaknya ada literatur terkait dengan aspek mental dokumen. Ini menyangkut aspek kognisi serta keterlibatan intelektual perorangan dengan dokumen selain literatur mengenai kebutuhan dan pencarian informasi. Apakah itu ada? Jika ada, di mana dan apa yang dibicarakan? Buckland menjawab, tidak, berarti tidak ada. Namun ada sebatas ulasan permukaan yang mengatakan bahwa seharusnya ada literatur sejenis itu.

Literatur tentang aspek kognitif atau intelektual dari dokumen selayaknya mendiskusi­kan relasi mental perorangan terhadap dokumen, baik sebagai pencipta, maupun sebagai penerima. Secara umum, dapat diharapkan adanya studi retorika dari pencipta dokumen dan studi semiotika dari para penerima dokumen. Bidang yang lebih khusus antara lain psikologi pendidikan, hermenetika dan teori membaca. Menurut Buckland, isu mendasar adalah bahwa seseorang hanya belajar dari dokumen karena pengaruh kuat dari yang sudah diketahuinya. Agar terjadi perkembangan, haruslah ada konsentrasi pada studi mengapa dan bagaimana dokumen digunakan.

 

Lebih lanjut, Buckland mengatakan bahwa budaya dan masyarakat, hidup dan berkem­bang melalui komunikasi dan kolaborasi. Sayangnya, sudah tidak mudah melakukan­nya secara langsung karena kendala ruang dan waktu. Bahkan mungkin pihak lain sudah mati. Jalan terbaik adalah kembali ke dokumen. Apakah yang pernah dikatakan, dilakukan, atau ditulis, orang yang kita maksud itu termasuk ide dan pemikirannya? Dokumen menjadi perekat masyarakat, terutama karena potensinya dalam memantau, memengaruhi, dan melakukan negosiasi serta relasi antarmanusia. Kita sekarang hidup dalam masyarakat dokumen seperti yang dinyatakan Buckland. Jika pada awalnya manusia berangkat dari kelisanan (orality), kemudian berkembang dengan keberaksaraan (literacy), kini masyarakat dokumen (document society) menjadi sebuah keniscayaan dengan keberadaan “kaki” ketiga, yaitu documentality (dokumentalitas).

Theory of Documentality (teori dokumentalitas) dirumuskan oleh Maurizio Ferraris sejak 2005. Dia mengembangkan teori berangkat dari rumusan seorang filosof Amerika Serikat, John Searle tentang a huge invisible ontology, atau the ontology of social objects. (1995). Untuk menerangkan objek sosial, Searle merumuskan hukum X counts as Y in C. Dia mengatakan bahwa objek sosial adalah objek di atas objek fisik. Dijelaskan bahwa dalam konteks (kondisi) C, objek fisik X adalah objek sosial Y. Faktor terpenting dalam mewujudkan realitas sosial (social reality) disebut oleh Searle collective intentionality. Rumusan Searle inilah yang dikoreksi oleh Ferraris dengan merumuskan hukum Object = Written Act (2005).

Ferraris membedakan objek menjadi tiga kelompok, yaitu objek fisik, objek sosial, dan objek ide. Jika Searle mengatakan bahwa objek sosial berkembang dari objek fisik, maka Ferraris berpendapat bahwa objek sosial adalah tindakan sosial yang melibatkan minimal dua orang dicirikan dengan ditulis, baik pada kertas, file komputer, atau hanya dalam benak manusia. Menurut Ferraris, tidak akan ada masyarakat tanpa tulisan atau inskripsi, meski hanya dalam benak manusia. Inilah teori documentality atau dokumentalitas. Ketergantungan realitas sosial pada dokumen inilah yang disebut dokumentalitas. Dapat juga disebut sebagai kekuatan dokumen atau the power of document. Maka ungkapan Derida There is nothing outside of the text, diubah Ferraris menjadi There is nothing social outside of the text.

Dengan semua pemikiran itu, teori dokumentalitas dapat berkembang menuju tiga arah. Yang pertama, secara ontologi mempertanyakan apakah dokumen itu. Yang kedua, lebih bersifat teknologis, berusaha menjawab bagaimana dokumen itu dipencarkan dalam masyarakat yang kompleks. Yang ketiga, lebih bersifat pragmatis, untuk menjamin distribusi dokumen secara efisien dalam masyarakat sekarang yang ditandai dengan ledakan tulisan. Menjawab pertanyaan pertama, Ferraris mengatakan bahwa cakupan dokumentalitas sangat luas, mulai dari ingatan manusia, catatan sederhana, sampai perjanjian internasional. Pemencaran berbasis dokumentalitas akan semakin mudah dengan adanya teknologi digital. Namun semua yang kita lakukan sepertinya akan dan selalu terekam oleh pihak lain tanpa kita sadari.

Mengakui bahwa studi tentang dokumen berkembang dengan pendekatan interdisiplin serta adanya teori dokumentalitas, Pleshkevich berpendapat bahwa perlu dirumuskan general theoretical knowledge of documentality (teori umum tentang dokumentalitas). Pleshkevich mengusulkan empat konsep pendekatan tentang studi dokumen: 1) the legal concepts; 2) source-study concepts; 3) gnoseological concepts; dan 4) management concepts. Sebenarnya keempat konsep itu tidak berkembang terpisah karena memang ada keterkaitannya. Namun dapat juga dirinci perbedaannya sehingga dapat dianggap masingmasing sebagai konsep yang independen.

Memandang dokumen dari sisi hukum dan pengadilan mudah dilakukan karena bukti akan kuat bila tertulis. Proses dan keputusan pengadilan, termasuk surat wasiat, memiliki aturan khusus untuk menyusun dokumen hukum. Maka perlu ada pendidikan terkait yang kemudian disebut kenotariatan (notaris). Praktik pembuatan dokumen memang bermula dari hukum. Hal ini sejalan dengan pernyataan Briet bahwa dokumen itu sebagai bukti pendukung fakta. Namun tidak semua yang tertulis disebut dokumen. Hanya tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk menjadikan suatu bukti tertulis yang menghasilkan dokumen.

Tentang konsep dokumen sebagai sumber pembelajaran (source of study) oleh Pleshkevich diterangkan bahwa paham positivis memandang status “dokumental” dikenakan pada objek terkait dengan proses penelitian. Juga merupakan instrumen penelitian sehingga objek tersebut sekaligus berfungsi sebagai instrumen pengetahuan. Konsep ini penting dan merupakan langkah maju menuju kerangka teori konsep dokumen sebagai study-sources. Memahami dokumen sebagai sumber, berarti juga memakainya sebagai landasan untuk memahami bahwa dokumentasi dibuktikan dengan adanya dokumen, dan pendokumentasian dipahami sebagai kegiatan yang berbasis dokumen.

Konsep gnoseologis erat kaitannya dengan pemahaman bahwa substansi sebuah dokumen adalah informasi atau pengetahuan. Dapat dikatakan bahwa buku memiliki peran sebagai bentuk dokumentasi yang berisi pengetahuan. Evolusi konsep itu ternyata dipengaruhi paham positivisme. Hal yang mungkin kontradiktif dalam upaya identifikasi dokumen sebagai objek kognisi, akan menjadi permasalahan kunci dalam ilmu dokumentasi. Harus dicari solusi agar dapat membantu menemukan pengetahuan baru tentang dokumen dan mampu mengembangkan ilmu dokumentasi baru. Sampai saat ini, baru dapat ditemukan arah yang memungkinkan untuk dikembangkannya ilmu dokumentasi baru.

Menyangkut pokok keempat mengenai pengembangan konsep manajerial dari dokumen, Pleshkevich menulis begitu dominannya aspek praktis dan teknis dibanding dengan aspek teori. Hal itu juga terjadi pada lembaga ataupun perorangan di Indonesia yang lebih terjerumus dalam pragmatisme. Banyak upaya dilakukan untuk bertransformasi menuju manajemen dokumen dengan teknologi baru (berbicara tentang organisasi baru, peraturan yang mengatur layanan, dan lain sebagainya) tanpa berangkat dari teori yang benar. Semuanya seakan ingin seketika atau instan. Padahal jelas diperlukan proses membangun ilmu dokumentasi melalui penelitian. Fungsinya untuk menghimpun pengetahuan dari beragam bidang ilmu lain yang mendukung pengembangan ilmu dokumentasi baru. Satu kemungkinan adalah dengan mengembangkan ilmu dokumentasi baru  secara interdisipliner dengan suatu teori umum tentang dokumen dan dokumentasi.

KONVERGENSI LEMBAGA-LEMBAGA DOKUMENTER

Sebelum membicarakan tentang integrasi dokumentasi ada baiknya disimak fenomena konvergensi lembaga-lembaga dokumenter. Konvergensi atas fungsi perpustakaan, arsip, dan museum di dunia internasional kembali bergulir dan semakin cepat sejak awal abad 21. Dikatakan kembali bergulir karena dari awal sebenarnya ketiga lembaga itu memang adalah satu lembaga yang melakukan tiga fungsi tersebut. Mulai dikelola terpisah sejak ditemukan­nya mesin cetak yang mengakibatkan meledaknya karya cetak yang mendominasi koleksi dengan jumlah yang semakin cepat berlipat. Pertumbuhan yang cepat itu sering juga disebut dengan ledakan pustaka. Koleksi perpustakaan semakin besar sehingga perlu cara atau metode baru dalam mengelola koleksi pustaka itu. Ini yang mendorong munculnya sekolah perpustakaan yang menyiapkan tenaga untuk mengelola koleksi yang tumbuh semakin cepat. Dapat dikatakan awal muncul (dibangunnya) sekolah perpustakaan karena ada keperluan dalam penyediaan pustakawan sebagai akibat ledakan pustaka.

Kini konvergensi perpustakaan, arsip, dan museum sudah menjadi tren di dunia internasional. Di negara maju konvergensi ini sudah menjadi kebijakan budaya suatu negara. Hal ini diikuti dengan komitmen pemerintah untuk menyediakan investasi besar, bahkan di beberapa negara menjawab tantangan itu dengan pembentukan lembaga baru serta mendorong diskusi lebih intens antara perpustakaan, arsip, dan museum. Peningkatan kemudahan akses pengetahuan bagi pengguna tiga lembaga tersebut sering disebut sebagai alasan untuk perlunya melakukan konvergensi. Pada dasarnya koleksi tiga lembaga tersebut adalah sumber pengetahuan. Meski dalam bentuk berbeda namun untuk suatu topik pengetahuan jelas diperlukan dari sumber pustaka di perpustakaan, arsip di lembaga arsip, maupun artefak dari koleksi museum.   

Maka upaya paling sederhana adalah membuat bagaimana pengguna jasa dapat mengakses pengetahuan yang diperlukan tanpa harus berpindah dari satu lembaga ke lembaga lainnya. Artinya koleksi tiga lembaga itu harus diintegrasikan dalam satu sistem simpan dan temu kembali pengetahuan. Integrasi sumber daya pengetahuan ini kini semakin mudah dilakukan karena boleh dikata semaunya dapat disimpan secara digital. Inilah minimal wujud nyata dari konvergensi perpustakaan, arsip, dan museum. Tentu konvergensi yang dimaksud bisa berkembang lebih lanjut dengan partisipasi pengguna dalam menciptakan pengetahuan baru sebagai hasil analisis dan sintesis pengetahuan yang dapat diperoleh baik dari perpustakaan, arsip, maupun museum.

Telah disebut terdahulu bahwa konvergensi ini bergulir kembali sejak awal abad 21. Secara garis besar berikut adalah tonggak kronologi kejadian terpenting di Amerika Serikat, Kanada dan dunia internasional pada umumnya, berdasar penelusuran penulis.

2004    Kanada adalah negara pertama yang menggabungkan Perpustakaan dan Arsip Nasional-nya Library and Archives Canada (LAC) pada 2004. Pemerintah Kanada berkomitmen untuk melaksanakan peran kunci dalam fungsi pengadaan, pelestarian, dan difusi warisan dokumenter bangsa dan negara. Pemerintah Kanada tanggap dalam menyesuaikan dan menjawab perubahan situasi sosial, budaya, serta ekonomi untuk mendukung lembaga dokumenter dalam melayani masyarakat Kanada.

2005    Pada 19 Juli 2005 Rare Books and Manuscripts Section (RBMS) dari Association of College and Research Libraries (ACRL), salah satu divisi American Library Association (ALA), menerima dana dari Institute of Museum and Library Services (IMLS) untuk melakukan kegiatan penelitian “misi budaya” dari perpustakaan, arsip, dan museum serta untuk menguatkan komunikasi dan kolaborasi dari tiga lembaga tersebut.

2006    Pada 22-23 Juni 2006 di Austin, Texas diselenggarakan sebuah konferensi Libraries, Archives, and Museums in the Twenty-First Century: Intersecting Missions, Converging Futures? Dalam konferensi ini hadir para pemuka (praktisi) perpustakaan, arsip, dan museum untuk mengindentifikasi kepedulian bersama terkait dengan misi bersama dalam mengumpulkan, melestarikan, dan menyediakan akses pada artefak budaya dunia beserta dokumen sejarah terkait.

2008    Online Computer Library Center (OCLC) menyelenggarakan lokakarya perpustakaan, arsip, dan museum. Lokakarya ini menghasilkan laporan Beyond the silos of the LAMs: Collaboration among libraries, archives and museums diterbitkan oleh divisi OCLC Programs and Research.

2009    Pada konferensi American Society for Information Science and Technology (ASIS&T) diselenggarakan panel dengan tema Information Organization in Libraries, Archives and Museums: Converging Practices and Collaboration Opportunities.

2009    Gerakan di Amerika Serikat ini ternyata segera menyebar luas secara internasional bahkan berkembang cakupan lembaga yang terlibat. Dalam simposium yang diselenggarakan International Council on Monuments and Sites (ICOMOS) disepakati perluasan lembaga yang terlibat sehingga menghasilkan akronim LAMMS: libraries, archives, museums, monuments and sites (perpustakaan, arsip, museum, monumen, dan situs).

2011    Association for Library and Information Science Education (ALISE) juga membahas konvergensi perpustakaan, arsip, dan museum serta implikasinya terhadap pendidikan program magister (graduate professional education). Pada tahun 2012 berikutnya hal ini dilanjutkan.

2014    Panel dari Royal Society of Canada menyimpulkan tiga pokok terpenting

·         Pertama dan yang utama, perpustakaan dan arsip dalam era digital tetap vital bagi masyarakat Kanada. Perpustakaan dan arsip memerlukan tambahan sumber daya untuk memenuhi beragam layanan yang diharapkan. Kesetaraan dalam masyarakat akan menghilangkan hambatan warga masyarakat dalam upaya memperoleh apa yang mereka perlukan untuk peningkatan kehidupan.

·         Kedua, pustakawan dan arsiparis harus bekerja secara lebih harmonis dalam kerangka kerjasama nasional untuk melanjutkan pelestarian warisan tercetak dan mengembangkan serta memelihara akses digital. Lembaga pemerintah pada berbagai tingkatan harus berinvestasi sarana digital untuk selalu meningkatan upaya ini.

·         Ketiga, program nasional digitalisasi, berkoordinasi dengan “lembaga memori” di seluruh negara harus direncanakan dan didanai untuk membawa warisan budaya dan pengetahuan Kanada ke dalam era digital, agar warga negara tetap yakin untuk memahami masa lalu dan mendokumentasikan masa kini sebagai pedoman langkah menuju masa depan.

Sebelum konvergensi menjadi praktik dan kesepakatan dunia, jauh sebelumnya (pertengahan dasa warsa 1990) dari kalangan akademik dalam hal ini W Boyd Rayward telah melontarkan prospek digital convergence pada lembaga informasi seperti perpustakaan, arsip, dan museum. Rayward yang memulai mengangkat wacana tentang informasi elektronik dan kemungkinan integrasi fungsi perpustakaan, arsip, dan museum (Marty, 2014). Mengapa Marty mengacu Rayward menjadi akademisi pertama yang mengemukakan konvergensi ini bertolak dari artikel Rayward pada 1996 berjudul Libraries, museums and archives in the digital future: The blurring of institutional distinctions, yang disampaikan pada Second National Preservaton Conference di Canberra yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Nasional Australia. Yang kedua pada 1998 berjudul Electronic information and the functi­onal integration of libraries, museums, and archives. Dalam buku History and electronic artefacts.

Yang menarik harus penulis sampaikan di sini adalah: jika Rayward memang termasuk akademisi pertama yang memikirkan konvergensi, baru pada 2004 konvergensi itu nyata di Kanada dengan disatukannya Perpustakaan Nasional Kanada dan Arsip Nasional Kanada menjadi Library and Archives of Canada (LAC). Wacana konvergensi di Amerika Serikat juga baru diawali pada 2005. Dapat penulis sampaikan bahwa kaum akademisi memang secara teori dan ketajaman analisanya sudah lebih dahulu memikirkan kemungkinan yang kiranya terjadi mendahului pemikiran para praktisi. Apakah kasus ini terjadi dalam dunia perpustakaan dan kepustakawanan di Indonesia? Sayang selama perjalanan panjang penulis (40 tahun) sebagai pustakawan sepertinya jarang terjadi scientific colloquium antara akademisi dan praktisi. Kita lebih sering menyelenggarakan seminar atau rapat kerja.

Argumen Rayward mengapa harus terjadi konvergensi dikarenakan dunia semakin mendigital. Sumberdaya yang ada dalam perpustakaan, arsip, dan museum mengalami digitalisasi ataupun memang terlahir sudah digital. Semua itu lebih mudah terakses melalui jaringan global. Pengguna tidak perlu (mau) tahu di mana sebenarnya “informasi” yang dicari itu berada atau dari mana asalnya. Padahal di sisi pustakawan, arsiparis, dan museolog menyiapkan agar semua itu bisa tampil di internet dengan upaya professional. Di sinilah terjadi beda persepsi antara pengguna dan pihak penyelenggara layanan informasi. Cepat atau lambat hal itu akan berpengaruh pada profesi pengelola sumberdaya informasi. Mau tidak mau memang harus ada perubahan orientasi pada pendidikan calon professional di bidang perpustakaan, arsip, dan museum.

LOGIKA DOKUMENTASI

Memaknai dokumentasi didekati dengan melihat makna kata kunci pada kalimat berikut:

pada awal mula adalah hasrat (kehendak) manusia untuk mengekspresikan apa yang dirasakan dan/atau yang dipikirkannya

Kalimat di atas semula digunakan dalam upaya mencari pendekatan untuk memahami kepustakawanan (Sudarsono, 1992). Seiring perjalanan waktu, kalimat itulah yang digunakan dalam upaya memaknai dokumentasi melalui proses logika berpikir. Akan dimaknai kata kunci dalam kalimat di atas.

Pemaknaan Menurut Kata Kunci

Pada kalimat tersebut, dapat ditentukan kata kunci berikut (dalam huruf tebal).

Pada awal mula adalah kehendak manusia untuk mengekspresikan apa yang dirasakan dan/atau yang dipikirkan-nya.

Penjabaran Kata Kunci

1. Awal Mula

Menyatakan awal tindakan atau apa yang dikerjakan manusia. Apabila digunakan sistem referensi umum dalam pernyataan fungsi (x,y,z,t), maka nilai “t” pada Awal Mula ini adalah sama dengan nol ( t = 0).

2. Kehendak Manusia

Kata kunci ini mengandung makna “sengaja” atau “aktif ”, bukan tindakan tanpa maksud. Jadi, memang suatu tindakan yang dikehendaki. Suatu tindakan “sadar”, bukannya tidak sadar. Dalam kehendak ini, manusia menyatakan keberadaan atau eksistensinya. Dalam bahasa filsafati, dapat dikatakan bahwa manusia “mengada”.

3. Mengekspresikan

Padanan kata ekspresi menurut Eko Endarmoko (2007) adalah cetusan, luapan, pernyataan, ungkapan, air/seri muka, roman muka, rona, rupa, tampang. Kamus besar Bahasa Indonesia (1983) menerangkan arti ekspresi adalah:

1) pengungkapan atau proses menyatakan (yaitu memperlihatkan atau menyatakan maksud, gagasan, perasaan dan sebagainya).

2) pandangan air muka yang memperlihatkan perasaan seseorang.

Lebih lanjut, arti kata mengekspresikan adalah mengungkapkan (gagasan, maksud, perasaan, dan sebagainya) dengan gerak anggota badan, air muka, kata-kata, dan sebagainya.

Dari batasan di atas, dalam ruang lingkup mengekspresikan, terlibat dua pihak, yaitu pihak yang melakukan (bisa tunggal maupun jamak) dan pihak yang dituju (bisa tunggal maupun jamak).

Juga sudah disebutkan tentang cara atau teknik menyampaikan ekspresi tersebut, misalnya dengan kata-kata, gerak anggota badan, air muka, dan sebagainya (bahasa tubuh).

Selain itu, yang penting adalah posisi, baik pihak pertama maupun pihak kedua, dapat dinotifikasikan dalam pernyataan fungsi (x,y, z, t).

Posisi pihak pertama kita sebut (x1, y1, z1, t1) sedangkan posisi pihak kedua adalah (x2, y2, z2, t2), maka dapat terjadi beberapa kemungkinan, yaitu:

1) Jika x1 = x2, y1 = y2, z1 = z2, t1 = t2, maka akan terjadi ekspresi langsung (suara maupun bahasa tubuh).

2) Jika nilai x1, y1, z1 dan x2, y2, z2 berbeda-beda, namun t1 dan t2 sama, maka tetap dapat dilakukan ekspresi langsung dengan pertolongan peralatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK).

3) Jika nilai x1, y1, z1, t1 dan x2, y2, z2, t2 berbeda-beda, maka diperlukan upaya menyimpan sementara apa yang akan diekspresikan itu sampai kondisi butir 1) atau 2) terpenuhi agar terjadi ekspresi langsung.

4) Kondisi sementara itu untuk waktu yang tak berhingga atau t = ∞ dikatakan abadi

Maka dapat dikatakan bahwa proses dokumentasi sesungguhnya adalah proses mengabadikan. Kata mengabadikan sudah dikenal masyarakat luas, khususnya dalam arti mengambil foto. Yang belum disebut dalam Tesaurus Bahasa Indonesia dan Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah produk dari ekspresi tersebut. Jika disepakati bahwa dokumentasi adalah proses maupun produk, maka dokumentasi sebagai produk tentu dapat juga disebut sebagai “dokumen”.

4. Dirasakan

Apa yang dirasakan dapat dibedakan dalam arti dirasakan melalui indrawi dan dirasakan melalui bukan non-indrawi.

Indrawi

·         Dilihat : pemandangan, (video)

·         Didengar: suara (audio)

·         Dicium (aroma)

·         Dicecap (rasa)

·         Diraba

Objek yang dapat dirasakan dengan indrawi dikatakan dan biasanya juga objek yang terukur (emperik).

Non-Indrawi

Objek yang hanya dirasakan secara non-indrawi, seperti perasaan hati atau suasana hati, pada dasarnya adalah objek kualitatif. Hanya dapat didekati dengan indikator yang bisa sedikit memberi gambaran secara kuantitatif.

5. Dipikirkan

Objek yang dipikirkan dapat bersifat abstrak, imajiner, khayali, maya, mujarad, niskala, tan wujud, visioner, hipotesis, ideal, konseptual, teoretis, dan transendental

Dokumentasi dapat dilihat dari 3 sudut pandang. Yaitu: 1) dokumentasi sebagai proses,

2) dokumentasi sebagai produk atau objek, dan 3) dokumentasi sebagai ilmu.

1. Dokumentasi Sebagai Proses

·         Manusia sebagai subjek mempunyai hasrat atau kehendak untuk mengutarakan pikiran dan atau perasaannya. Kepada siapa? Tentu kepada sesama manusia bukan? Sesama manusia ini bisa tunggal maupun jamak. Apakah sesama manusia itu berada di dekatnya? Jika sesama manusia itu berada berdekatan, maka ekspresi itu bisa diwujudkan dengan komunikasi langsung, baik verbal maupun non-verbal.

·         Objek yang dikomunikasikan tentunya adalah apa yang dirasakan dan atau yang dipikirkannya. Dengan kata lain, komunikasi akan terjadi jika dua pihak itu (komunikator dan

·         komunikan) berada dalam ruang yang sama dan pada waktu yang sama.

·         Apakah komunikasi mensyaratkan keberadaan pada ruang dan waktu yang sama? Tidak selalu! Dalam dunia yang semakin modern ini, meskipun komunikator dan komunikan tidak

·         berada pada ruang yang sama, apabila tetap dalam keberadaan waktu yang sama, maka komunikasi tetap dapat dilakukan dengan bantuan teknologi komunikasi yang disebut telekomunikasi.

·         Bagaimana jika keberadaan komunikator dan komunikan tidak pada ruang dan waktu yang sama? Jelas akan terjadi penundaan komunikasi langsung itu. Agar apa yang dirasakan dan atau dipikirkannya itu tidak terlupakan, diperlukan sarana pengingat atau penyimpanan sementara.

·         Selanjutnya, pada saat komunikator dan komunikan berada di tempat dan pada waktu yang sama, maka komunikasi lang sung dapat dilakukan dengan menyampaikan apa yang untuk sementara tadi disimpan.

·         Sarana pengingat atau penyimpanan sementara ini ada dua jenis, yaitu yang alamiah dan yang buatan.

·         Sarana pengingat atau penyimpanan sementara yang alamiah adalah otak. Dengan otaknya, manusia mengingat apa yang akan dikomunikasikan. Otak adalah pusat ingatan manusia.

·         Sarana pengingat atau penyimpanan buatan dapat diwujudkan dengan berbagai cara, mulai dari membuat tanda dalam bentuk guratan pada dinding gua, pohon, sampai dengan yang begitu canggih dalam wujud alat perekam sesuai perkembangan teknologi. Dengan kata lain, manusia memerlukan cara dan sarana untuk menyimpan atau merekam sementara atas apa yang dirasakan dan atau yang dipikirkannya.

·         Jika kita melihat jauh ke depan, rentang waktu sementara itu menuju ke masa abadi. Dalam bahasa matematika, kita kenal dengan masa dari 0 - ∞.

·         Bertolak dari pola pikir itu, saya memakai kata mengabadikan untuk menerangkan makna dokumentasi. Pada dasarnya, kegiatan (proses) dokumentasi atau kata turunannya mendokumentasikan, adalah pengabadian atau mengabadikan.

·         Dokumentasi sebagai proses, secara umum dapat dikatakan:

o   Pada dasarnya adalah proses siklus. Objek maya didokumentasikan menjadi objek nyata atau digital. Objek nyata didokumentasikan kembali dokumen nyata lain atau digital (menggunakan TIK). Proses ini berulang-ulang.

o   Kegiatan mengeksplisitkan pengetahuan taksit dan mengelola pengetahuan eksplisit.

o   Langkah dalam penciptaan pengetahuan dan ilmu.

o   Simulasi kerja otak.

o   Fungsi yang harus dilakukan oleh semua orang.

2. Dokumentasi Sebagai Produk atau Objek

·         Apa yang dirasakan dan atau dipikirkan merupakan objek ekspresi manusia. Dengan kata lain, apa yang dirasakan dan atau dipikirkan adalah objek dokumentasi.

·         Apa yang dirasakan, dapat dibedakan atas yang dirasakan secara indrawi dan non-indrawi (perasaan hati). Ditilik dari wujudnya, apa yang dirasakan itu selalu ada yang dapat dilihat dan diraba atau nyata (tangible atau real), serta yang tak dapat dilihat atau diraba (intangible atau virtual).

·         Objek yang dipikirkan selalu dalam wujud tidak dapat dilihat atau diraba (intengible or virtual).

·         Dengan demikian, terdapat dua objek dokumentasi, yaitu yang nyata (real, tangible) dan yang maya (virtual, intangible).

·         Objek virtual dapat berada pada dua lokasi. Yang pertama, ada dalam diri manusia. Lokasi kedua adalah jika objek itu tidak berada dalam diri manusia.

·         Objek virtual yang berada dalam diri manusia ada dalam pikiran dan perasaan manusia.

·         Objek dokumentasi virtual yang tidak berada dalam diri manusia, biasanya ada dalam komputer yang saat ini mayoritas tersimpan dalam bentuk digital. Kita namakan saja objek digital.

·         Dengan demikian, kita kenal tiga objek dokumentasi, yaitu: 1) Objek Nyata; 2) Objek Maya; dan 3) Objek Digital.

·         Objek dokumentasi dapat pula disebut dokumen. Dengan demikian, dikenal 1) dokumen nyata; 2) dokumen maya; 3) dokumen digital.

·         Objek dokumentasi (dokumen) nyata dapat berwujud dua dimensi dan tiga dimensi (Otlet, 1934) atau artefak dalam museum adalah dokumen.

·         Objek dokumentasi (dokumen) tiga dimensi dapat dalam status mati dan status hidup (Briet, 1951) binatang yang dipelihara untuk tujuan khusus adalah dokumen.

·         Objek dokumentasi (dokumen) tiga dimensi dan hidup dapat menciptakan dokumen baru non-benda, dalam gerak tubuh, atau bahasa tubuh (Lund, 2003).

·         Objek dokumentasi (dokumen) selalu dan akan selalu bertambah dan bahkan dapat dikatakan meledak seiring perkembangan kehidupan manusia.

·         Maka jelas diperlukan cara untuk menyimpan informasi tentang semua dokumen yang ada, dan dilengkapi juga dengan cara menemukan kembali secara cepat saat dokumen itu diperlukan.

·         Jawaban atas semua keperluan tersebut adalah suatu Sistem Simpan dan Temu Kembali Informasi (SSTKI) (Sudarsono, 1992).

·         Selain sistem simpan dan temu kembali untuk informasi (deskripsi) tentang dokumen, diperlukan juga cara menyimpan koleksi dokumen secara fisik maupun digital.

·         Dalam hal ini diperlukan Sistem Simpan dan Tata Kelola Koleksi Dokumen (SSTKKD) baik yang nyata maupun yang maya (digital).

·         SSTKI dan SSTKKD dibangun dan dikembangkan dengan menerapkan teknik dan teknologi yang sesuai.

3. Dokumentasi sebagai ilmu

·         Gerakan dokumentalis baru (neo-documentalist) berhasil membangkitkan kembali ilmu dokumentasi, bahkan muncul teori atau konsep baru yang sebelumnya tidak pernah ada. Hal ini dapat dipahami karena ilmu dokumentasi baru meletakkan dokumen sebagai fokus studi. Dokumen sebagai objek diletakkan di pusat dan ditinjau serta dipelajari secara komprehensif dari berbagai arah dengan menerapkan berbagai disiplin keilmuan.

·         Pengertian dokumen juga menjadi semakin luas. Jika waktu awal lahir dokumentasi hanya membatasi pada objek dokumen dua dan tiga dimensi yang mati, kemudian ditambahkan dan mencakup juga objek tiga dimensi hidup.

·         Dengan gerakan dokumentasi baru, yang dimaksud dengan dokumen sudah tidak hanya terbatas pada fisik dokumen, namun juga meliputi semuayang berpotensi dan dianggap sebagai dokumen meski dalam bentuk maya (virtual) sekalipun. Semuanya adalah dokumen jika memiliki atau melaksanakan fungsi dokumen.

·         Kini, ilmu dokumentasi adalah ilmu yang objek garapnya adalah dokumentasi. Inti utama atau mendasar dari dokumentasi adalah dokumen. Selanjutnya, area utama kajian dokumentasi adalah: 1) Dokumentasi sebagai proses; 2) Dokumentasi sebagai produk (dokumen) dan 3) Dokumentasi sebagai ilmu.

·         Ilmu dokumentasi berkembang dan mencakup berbagai aspek yang sangat luas. Ilmu dokumentasi diletakkan dalam lingkungan budaya dan kemanusiaan adalah ideal karena kemelekatan yang kuat antara dokumentasi dengan hidup keseharian hidup umat manusia.

·         Studi ilmu dokumentasi perlu dibangkitan kembali dan dikembangkan di Indonesia. Pengembangan ini dapat mulai dari pengkajian proses dan produk tersebut dahulu. Pengkajian itu harus dilakukan secara akademik. Artinya, praktik kaum dokumentalis perlu dikaji oleh para akademisi ataupun para pemerhati masalah dokumentasi.

·         Hasil kajian tersebut hendaknya dapat ditindaklanjuti menjadi kolokium ilmiah antara para akademisi dan kaum praktisi. Suatu interaksi yang seharusnya secara berkesinambungan dilakukan.

Pengkajian atau penelitian praktik dan fenomena dokumentasi bukanlah monopoli para akademisi. Kini kaum praktisi semakin punya kesempatan melakukan penelitian. Namun semua itu terpulang pada kebijakan lembaga tempat kaum praktisi bekerja.

Uraian tentang Logika Dokumentasi dapat dirangkum dalam beberapa butir berikut:

·         Dokumentasi pada dasarnya merupakan proses siklus.

·         Objek nyata atau objek maya didokumentasikan menjadi objek nyata atau digital.

·         Objek ini didokumentasikan kembali (antara lain memakai TIK) menjadi objek maya baru.

·         Demikian proses ini terjadi berulang-ulang.

·         Dokumentasi adalah langkah dalam penciptaan pengetahuan dan atau ilmu pengetahuan.

·         Dokumentasi adalah kegiatan yang mengeksplisitkan pengetahuan tasit dan mengelola pengetahuan eksplisit.

·         Dokumentasi adalah simulasi kerja otak.

·         Dokumentasi adalah fungsi yang harus dilakukan oleh semua orang.

·         Dokumentasi adalah objek, proses dan ilmu.

PENUTUP

Kerisauan penulis akan makna kata “dokumentasi” bukan tanpa alasan. Sebagai orang yang pernah bekerja dan bahkan memimpin sebuah lembaga dokumentasi tentu harus benar-benar mengerti akan arti dan makna kata itu. Bahkan tidak sekedar mengerti, namun juga harus memahami dan menghayatinya dengan benar. Pencarian makna dokumentasi yang penulis kerjakan memang memakan waktu panjang, bahkan sepanjang 40 tahun masa kerja penulis sebagai Pegawai Negeri Sipil. Dari pengalaman penulis sejauh ini, biasanya untuk melakukan tugas dokumentasi cukup diberi arahan atau pelatihan yang terbatas hanya pada bagaimana mengerjakan (how to do) dan jarang mempertanyakan mengapa mengerjakan (why to do). Hal ini penulis tengarai menjadi salah satu kelemahan dasar kita. Mengubah pola pikir itu ternyata tidak mudah. Selain itu sebagai praktisi waktu untuk melakukan studi tentu tidak sebebas seperti akademisi. Namun yang benar terjadi adalah gerakan dokumentalis baru (neo documentalist movement) juga baru muncul pada 2003. Artinya 30 tahun setelah penulis bergabung dalam tugas dokumentasi. Bahkan studi itu baru menemukan berbagai referensi penting pada 2014. Sehingga buku MEBD baru terbit akhir 2016.

Seperti telah disampaikan sebelumnya, bahwa tujuan uraian ini adalah untuk memberikan wawasan baru perkembangan dunia dokumentasi. Penulis menyadari sepenuhnya, mengenal­kan hal baru tentu tidak begitu saja dapat diterima. Apalagi ilmu dokumentasi tidak dikenal di Indonesia. Apalagi dengan sebutan ilmu dokumentasi baru yang memang berbeda dari yang biasanya dikenal di Indonesia. Pengertian dokumen yang semula terbatas pada dokumen pustaka, berkembang menjadi apa saja yang berfungsi sebagai dokumen. Secara singkat penulis bedakan dari dokumen dua dan tiga dimensi mati, bertambah dengan tiga dimensi hidup dan kini sebagai realita sosial. Dalam realita sosial ini bisa terdiri atas yang belum dan sudah terekam. Janji sudah dapat disebut dokumen. Menjadi hard document setelah tertulis atau terekam dengan berbagai cara. Selain itu yang penting juga harus diperhatikan adalah munculnya konsep konvergensi lembaga-lembaga dokumenter. Sehingga memungkinkan integrasi antar lembaga dokumenter. Contoh yang jelas terjadi di Kanada antara Perpustakaan Nasional Kanada dengan Arsip Nasional Kanada menjadi satu lembaga yang disebut  Library and Archives Canada (LAC).

Dapat diduga bahwa integrasi yang kini sudah dikerjakan masih terbatas integrasi dokumen pustaka. Pengembangan dan perluasan integrasi dalam Sistem JDIH Nasional dapat dimulai juga dengan mengintegrasikan produk dokumen dan proses dokumen. Produk dokumen bisa berupa fisik maupun maya. Sedang proses dokumen adalah tahapan pembuatan produk dokumen hukum dan perundangan baik yang berupa fisik maupun yang harus memerlukan perekaman. Sampai sekarang apakah sudah ada integrasi antara dokumen pustaka peraturan perundangan dengan dokumen arsip peraturan perundangan? Hal integrasi semacam inilah yang perlu dimulai sehingga informasi peraturan perundangan juga dapat dilihat sejarah penyusunannya. Setelah itu integrasi juga bisa mencakup berbagai unit dokumenter lainnya dalam Sistem JDIH Nasional. Adakah rencana untuk membangun museum peraturan perun­dangan? Harus diingat bahwa semua integrasi tersebut akan lebih mungkin dilakukan karena pada saatnya nanti, semua informasi maupun wahana informasi juga akan lebih banyak berupa digital. Terakhir perlu disampaikan bahwa Badan Pembinaan Hukum Nasional perlu segera memasukkan kajian dokumentasi dalam kegiatan lembaga. 

BACAAN LEBIH LANJUT

1.      Buckland, M. K., & Lund, N.W. (2013). Boyd Rayward, Documentation, and Information Science. Library Trends, 62, (2).

2.      Buckland, M. K. (2013). Document Theory: an Introduction. Preprint, Nov 7, 2013. Presentation at the Summer School on Records, Archives and Memory Studies, University of Zadar, Department of Information Sciences, Zadar, Croatia, 6–10 Mei.

3.      Ferraris, Maurizio. (2014).Total Mobilization. The Monist, 97, 2

4.      Lund, W. N. (2010). Document, text and medium: concepts, theories and disciplines. Journal of Documentation, 66 (5), 734–749.

5.      Rayward, W. B. (2012). Paul Otlet, an encounter. Cahiers de la documentation. Bladen voor documentatie, 2, 71–73.

6.      Sudarsono, Blasius (1992). Pendekatan untuk memahami kepustakawanan. Dalam Kepustakawanan Indonesia: potensi dan tantangan. Jakarta: Kesaint Blanc.

7.      Sudarsono, Blasius (2015). Menyiapkan konvergensi, dalam Acarya Pustaka. Singaraja, Undiksa, Vol. 1 (2)

8.      Sudarsono, Blasius (2016). Menuju Era Baru Dokumentasi. Jakarta, LIPI Press, 258 hal.

9.      Sudarsono, Blasius (2017). Sekitar teori dan praktik kepustakawanan kita. Dapat diakses: http://isipii.org/kolom-pakar/sekitar-teori-dan-praktik-kepustakawanan-kita

Jakarta, 19 September 2017

Disampaikan dalam: Pertemuan Integrasi Sistem JDIH Nasional, 18-20 September 2017.

Oleh: Blasius Sudarsono

Pembelajar pada Kappa Sigma Kappa INDONESIA

 

Add new comment

Plain text

  • No HTML tags allowed.
  • Web page addresses and e-mail addresses turn into links automatically.
  • Lines and paragraphs break automatically.
CAPTCHA
This question is for testing whether or not you are a human visitor and to prevent automated spam submissions.
Image CAPTCHA
Enter the characters shown in the image.