Skip to content Skip to navigation

KEPUSTAKAWANAN, MASALAH SOSIAL, dan EPISTEMOLOGI SOSIAL - (bagian 4 dari 7)

KEPUSTAKAWANAN, MASALAH SOSIAL, dan EPISTEMOLOGI SOSIAL - (bagian 4) - oleh : Putu Laxman Pendit
_____
Tulisan ini adalah yang ke-EMPAT sehingga bagi yang baru melihat tulisan ini, sangat dianjurkan untuk membaca TIGAtulisan sebelumnya, sambil terus mengingat nasihat emak, "Rajin membaca, pangkal pandai, ... (setidaknya, pandai membaca) ...
_____
Sampai di sini kita masih berkutat-ketat dalam pembicaraan tentang ilmu, belum ke dua hal yang ada di judul serial tulisan ini, yaitu Kepustakawanan, dan Masalah Sosial. Saya masih bermaksud memastikan bahwa kita sedang berbicara tentang pengetahuan yang mendasari segala kerja dan karsa di bidang perpustakaan serta bidang-bidang turunannya.
Kita memang tidak sedang membicarakan praktik serta proses kerja spesifik di perpustakaan atau di organisasi-organisasi turunannya.
Kita sudah bicarakan panjang-lebar bahwa segala praktik dan kerja itu memang adalah bagian dari fokus serta perhatian Ilmu Perpustakaan & Informasi (IP&I), tetapi dilihat sebagai perilaku manusia dalam kaitan atau interaksinya dengan manusia lain di dalam suatu kumpulan yang biasa disebut 'masyarakat'.
Di tulisan ini, saya ingin mempertegas lagi bahwa IP&I memang berbeda dari 'pendidikan profesi', dan pembedaan ini memang tidak mudah, sebab sampai sekarang pun orang masih melihat Kepustakawanan (nah, akhirnya kata ini disebut juga! ) adalah praktik semata, tidak memerlukan 'ilmu'.
Persepsi ini punya sejarah sangat panjang, yang memang harus kita simak untuk memahami mengapa akhirnya IP&I muncul serta diterima. Dengan kata lain, setelah kita ribet bicara tentang 'ontologi' dan 'epistemologi' di dua tulisan sebelumnya, kita juga harus ribet bicara tentang 'sejarah ilmu' -- sebuah bagian yang tidak dapat kita abaikan setiap membahas ilmu, apa pun ilmu itu.
Saya pernah menguraikan sejarah IP&I, sehingga tidak akan saya ulangi sepenuhnya. Silakan ketik #sejarah_IPI untuk membacanya, kalau belum pernah membacanya.
Namun saya perlu mengulang bagian yang relevan dengan diperkenalkannya teori Epistemologi Sosial oleh Shera dan Egan di tahun 1952.
Perhatikanlah perlu 46 tahun, dari sejak pertama kali Kepustakawanan mengenal bangku-sekolah, untuk muncul dua buku-babon karya Ranganathan (1931) dan Pierce Butler (1933) yang resmi menggunakan kata 'ilmu' untuk Ilmu Perpustakaan (belum pakai 'dan Informasi')
Perhatikanlah pula perlu 20 tahun bagi Ilmu Perpustakaan untuk menggunakan sebuah teori spesifik dari Ilmu Sosial dalam menjelaskan salah satu (sekali lagi: salah satu!) aktivitas di perpustakaan yang kita kenal dengan nama kegiatan bibliografi.
Apa artinya ini? Jelas bahwa memang sangat sulit bagi Kepustakawanan untuk benar-benar lepas dari citra maupun tradisi yang sarat praktik.
Sekolah pertama yang meluluskan pustakawan berdiri di Amerika Serikat tahun 1887, bernama "School of Library Economy”. Perlu enam puluh enam tahun untuk sebuah teori sosiologi 'menyelinap' ke sela-sela pembicaraan tentang cara membuat katalog, tata-aturan penempatan nomor klasifikasi di punggung buku, dan bagaimana menulis nama pengarang dengan benar.
Artinya lagi, memang sangat sulit bahkan bagi Pustakawan lulusan sekolah-sekolah tinggi itu sendiri untuk merasa perlu menggunakan teori dalam mengetahui bagaimana cara paling efektif dan efisien membuat katalog. Kira-kira sama sulitnya dengan orang awam untuk memahami mengapa sampai perlu ada Jurusan Bahasa Indonesia dan Ilmu Bahasa kalau untuk berbicara dan menulis kita cukup lulus SD saja.
Apakah memang tidak ada sama sekali pikiran untuk mengembangkan keilmuan selama 66 tahun setelah School of Library itu berdiri? Oh, tentu saja ada!
Sejak Pierce Butler menulis bukunya, perhatian sebagian orang memang ke aspek ilmiah dari Kepustakawanan. Kita bisa melihat dalam sejarah Ilmu Perpustakaan bahwa doktor-doktor bidang ini mulai bermunculan tak lama setelah ia resmi diterima sebagai ilmu di universitas-universitas.
Tetapi jumlah mereka sangat sedikit, dan perhatian atau penelitian mereka pun masih lebih banyak ke permasalahan-permasalahan praktis yang ditemukan dalam penyelenggaraan administrasi perpustakaan. Walau memang juga harus digarisbawahi bahwa teori-teori ilmu sosial juga dipakai sejak awal, dan dua pemikir sosial yang menjadi panutan waktu itu adalah Karl Popper dan Thomas Kuhn.
Kedua pemikir ini dikenal juga sebagai filsuf, dan memang setiap teori dalam ilmu sosial selalu berkaitan dengan pandangan filosofis si pembuat teori. [Ingat, ilmuwan sosial adalah manusia juga adanya, punya pikiran dan pandangannya sendiri ketika meneliti perilaku manusia lain].
Untuk Ilmu Perpustakaan di masa awal, kedua filsuf ini memperkenalkan apa yang kita sebut sebagai 'filsafat positivistik'. Salah satu ciri teori-teori sosial positivistik yang terbawa ke dalam Ilmu Perpustakaan adalah obsesi terhadap keteraturan (order) termasuk dalam tata-pengetahuan dan kebenaran (truth), yang segera dianggap sangat cocok untuk obsesi Pustakawan terhadap keteraturan koleksi, dan kecermatan dalam klasifikasi.
Ciri lain dari teori-teori sosial berbasis filsafat positivistik yang dipakai di Ilmu Perpustakaan adalah gagasan tentang netralitas atau (neutrality) dan objektivitas (objectivity) Ilmu Perpustakaan di masa itu berupaya merumuskan “hukum” yang berlaku untuk semua aktivitas Kepustakawanan. Dalam hal ini lah ketika itu berlaku agadium bahwa : Ilmu Perpustakaan tidak diharapkan menjawab persoalan di masyarakat
Di saat awal yang cukup panjang (66 tahun itu lama lho...) Ilmu Perpustakaan memakai 'kacamata kuda', hanya mau melihat persoalan-persoalan di dalam ruang kerja atau kantor Perpustakaan. Selain itu ia diarahkan menjadi ilmu yang fokus ke “service delivery” alias penyediaan-jasa.
Sampai tahun 1960-an pun, Ilmu Perpustakaan terfokus ke proses penyediaan jasa, alih-alih ke ujung akhirnya, yaitu apakah jasa ini memang dibutuhkan oleh masyarakatnya.
Dengan kata lain, sebelum teori Epistemologi Sosial diperkenalkan sebenarnya Ilmu Perpustakaan belum benar-benar menunjukkan ciri ilmu sosial seperti yang saya uraikan di Bagian 3 sebelum ini. Ilmuwan-ilmuwannya seolah tak peduli terhadap apa yang terjadi di luar gedung perpustakaan, dan tak pernah berupaya mengaitkan pekerjaan pustakawan (misalnya, membuat katalog, menyediakan jasa referensi, melakukan pelestarian pustaka) dengan apa yang terjadi di masyarakat.
Baru setelah Shera menggagas Epistemologi Sosial dan mengaitkannya ke kegiatan bibliografi, 'serbuan' teori-teori ilmu sosial seperti aliran sungai yang sudah lama terbendung oleh bebatuan. Di era 1960-an sampai 1970-an, teori-teori tentang kehidupan masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan identitas budaya, pengetahuan, pendidikan, dan kebiasaan membaca, mulai sering dirujuk. Sejarah perpustakaan di setiap negara juga mulai sering dipelajari.
Demikian pula, tahun 1970-an marak kajian tentang komunitas setempat, pengetahuan lokal, kepustakawanan multikultural, persoalan-persoalan 'gender', dan bahkan masalah-masalah kognisi (khususnya dalam kaitan dengan pencarian informasi) mulai bermunculan di literatur dan jurnal Ilmu Perpustakaan.
Ini bisa kita sebut sebagai masa Reformasi Ilmu Perpustakaan yang memuncak pada tahun 1980-an, di saat mana Ilmu Perpustakaan sudah menambahkan frasa 'dan Informasi' ke dalam namanya. [ketik #sejarah_IPI untuk membaca lebih rinci tentang perubahan nama ilmu ini].
Masa Reformasi ini membuka jalan pula bagai serbuan gelombang kedua teori-teori ilmu sosial ke dalam IP&I. Kita dapat menamakannya sebagai Masa Transformasi, yang lebih radikal sebab IP&I lalu mulai memasukkan konsep-konsep “emancipation” atau kesetaraan dalam segala kegiatan Kepustakawanan.
Dari sinilah mulai muncul banyak kajian dan pemikiran yang menganggap aktivitas perpustakaan dan kepustakawanan harus dikaji secara kritis untuk melihat apakah dengan memegang nilai-nilai tertentu mereka juga sebenarnya mendiskriminasi nilai-nilai lainnya. Pengaruh Michel Foucault khususnya dalam analisis tentang kaitan antara “kekuasaan” dan “pengetahuan” banyak terlihat di kajian-kajian IP&I di tahun akhir 80-an dan awal 1990-an.
Di sisi praktik dan profesi bermunculan gerakan-gerakan pustakawan kritis yang meniru aktivis-aktivis sosial-budaya. Banyak pustakawan menganggap diri mereka bukan lagi pekerja di belakang meja, tetapi aktivis lapangan yang terlibat dengan kaum marjinal.
Jadiiiiii...... jadi, jadi....dalam perkembangan 20 tahun sejak Epistemologi Sosial diajukan Shera untuk mengulas bibliografi lah, IP&I semakin memperjelas 'warna' ilmu sosialnya, dan kebetulan juga waktu itu lah, tahun 1987, saya mulai ngajar di Jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia.
hehehehe.... kok akhir tulisannya jadi 'pribadi' yaa..
Kita akan bahas lebih lanjut fenomena ini di tulisan berikutnya. Silakan ikuti terus tautannya.

Sumber: https://www.facebook.com/631103700433496/posts/1749180888625766/