Skip to content Skip to navigation

KEPUSTAKAWANAN, MASALAH SOSIAL, dan EPISTEMOLOGI SOSIAL - (bagian 6 dari 7)

KEPUSTAKAWANAN, MASALAH SOSIAL, dan EPISTEMOLOGI SOSIAL - (bagian 6) - oleh : Putu Laxman Pendit
_____
Ini adalah bagian ke-6 dan tentunya ada 5 bagian sebelumnya. Silakan merunut dari awal jika Anda baru kali ini mampir. Selalu ingat nasihat emak, "Membaca itu baik, apalagi membaca yang baik-baik"
_____
Sekarang mari kita bahas "masalah sosial" (social problems) dan kaitannya dengan Kepustakawanan.
“Masalah Sosial” secara awam merujuk ke kondisi di masyarakat yang dianggap mengganggu atau merusak kebersamaan, seperti kriminalitas, penyalahgunaan narkotika, atau rasisme. Seringkali masalah sosial ini terlihat sebagai konflik fisik antar warga masyarakat dan langsung dikaitkan dengan tugas-tugas “keamanan”, seperti polisi dan bahkan juga militer.


Dalam ilmu-ilmu sosial, pengertian “masalah sosial” agak berbeda. Alih-alih merujuk ke kondisi masyarakat dan konflik fisik itu sendiri, ilmuwan sosial pada umumnya menganggap masalah sosial (atau isu sosial) sebagai sebuah proses. Fokusnya adalah pada bagaimana dan mengapa sebuah masyarakat memandang kondisi kehidupannya sebagai bermasalah. Dengan kata lain, ilmuwan sosial —sebagaimana sudah kita bicarakan berkali-kali sebelumnya— memperhatikan persepsi, sikap, pikiran masyarakat tentang masalah sosial. Bukan langsung ke masalah-sosial nya itu sendiri.


Cara ilmu sosial mempelajari masalah sosial seringkali disebut sebagai cara “konstruksionis”, sebab masalah sosial dilihat sebagai “bangunan pikiran” (konstruksi”) di anggota-anggota sebuah masyarakat. Biasanya kajian sosiologis tentang sebuah masalah dimulai dengan mencari asal-mula suatu kondisi yang dianggap bermasalah. Seringkali ini dimulai dengan seseorang atau sekelompok orang yang menyatakan bahwa kondisi tertentu dalam hidup mereka bermasalah. Teori-teori ilmu sosial menyebut orang-orang ini sebagai “claimsmakers” — orang-orang yang mengadukan (mengklaim) suatu kondisi sebagai sebuah masalah.
Secara bercanda kita bilang orang-orang ini "pembuat masalah" dan kadang-kadang dianggap sebagai orang-orang yang "cari-cari masalah"
Pengaduan ini tidak selalu langsung kepada otoritas, seperti kalau kita mengadukan suatu persoalan ke polisi. Biasanya pengaduan ini beredar di kelompok terbatas dahulu, sebelum akhirnya menjadi popular dan dianggap sebagai masalah bersama. Proses-proses lain di sebuah masyarakat akan ikut berperan dalam “mengangkat” pengaduan ini menjadi masalah bersama. Misalnya, komunikasi antar anggota masyarakat, baik komunikasi informal maupun komunikasi formal, baik yang “tradisional” maupun yang lewat media-massa. 


Di masa kini, media-sosial memegang peran semakin penting dalam “membangun” sebuah kondisi menjadi sebuah masalah. 

Misalnya, "intoleransi" (kondisi di mana satu anggota masyarakat tidak toleran terhadap anggota lainnya) adalah masalah sosial yang kini marak dibicarakan, khususnya dalam kaitan dengan kehidupan beragama di Indonesia. [Ini masalah yang dijadikan bagian dari diskusi oleh mahasiswa UIN Alauddin Makassar di mana saya hadir sebagai pembicara].
Misalnya lagi, "literasi" (kondisi yang terwujud dari kemampuan membaca-menulis di sebuah masyarakat) kini dianggap bermasalah dan dibicarakan, khususnya oleh mereka yang terlibat (atau menganggap diri terlibat) dalam kegiatan baca-tulis, termasuk kalangan pustakawan.
Dari dua contoh di atas, kita mungkin segera melihat bahwa satu masalah (intoleransi) lebih luas daripada masalah lainnya (literasi), jika kita melihatnya dari segi masyarakat umum. Tetapi kalau kita melihatnya sebagai pustakawan, maka tentu literasi menjadi lebih relevan, dan lebih penting, daripada intoleransi.
Nah... kalau kita berposisi sebagai orang yang mempelajari masalah sosial, yaitu ketika kita belajar Ilmu Perpustakaan dan Informasi (IP&I) atau ketika kita adalah ilmuwan IP&I, maka baik intoleransi maupun literasi adalah sama saja: sama-sama merupakan bangunan-pikiran di kalangan masyarakat Indonesia.
Bahkan, sebagai seorang yang belajar, kedua masalah-sosial tersebut dapat kita kaitkan, sebab memang begitulah ilmu sosial melihat semua masalah, yaitu sebagai hal yang selalu kait-mengkait dan tidak pernah berdiri sendiri. Sebab, sejak awal sudah kita bicarakan, ilmu sosial termasuk IP&I selalu melihat masyarakat (objek ilmunya) sebagai interaksi antar manusia, bukan sebagai perilaku orang perorangan.
Seorang yang mempelajari ilmu sosial lewat jurusan IP&I seyogyanya berusaha menemukan kaitan antara intoleransi dan literasi. Salah satu teori yang dapat membantu dalam hal ini adalah Epistemologi Sosial sebagaimana diusulkan Shera 70 tahun yang silam. [sekali lagi, ini adalah salah satu saja dari teori ilmu sosial yang digunakan di IP&I]
Dengan teori Epistemologi Sosial kita dapat mengulas intoleransi dan literasi dalam satu kerangka pikir yang sama, yaitu bahwa baik intoleransi maupun literasi sama-sama berkaitan dengan "apa yang ada di dalam pikiran anggota-anggota suatu masyarakat". Kita akan melihat intoleransi maupun literasi sebagai sama-sama berkaitan dengan "apa yang diketahui dan tidak diketahui oleh anggota-anggota suatu masyarakat".
Mengapa demikian? Apa pasalnya?
Teori Epistemologi Sosial yang disorongkan Shera dan Egan memang mengaitkan kerja para pustakawan (khususnya dalam pengembangan bibliografi) dengan "apa yang diketahui masyarakat". Dengan kata lain, pekerjaan para pustakawan sebenarnya berkaitan dengan pengetahuan di masyarakat di mana perpustakaan itu berada.
Dengan kata lain lagi, para pustakawan sebenarnya bekerja dengan pengetahuannya tentang pengetahuan masyarakatnya. [pelan-pelan ya membacanya, supaya jangan keselek ]
Lebih spesifik lagi, pustakawan bekerja dengan pengetahuannya tentang bagaimana pengetahuan masyarakatnya menjadi pengetahuan masyarakat secara bersama, bukan semata-mata pengetahuan-pengetahuan pribadi dari anggota-anggota masyarakat yang hidup bersama.
Jadiiiiiiii....
Intoleransi maupun literasi adalah persoalan pengetahuan di sebuah masyarakat. Intoleransi menjadi masalah jika ada kesenjangan pengetahuan antara satu pihak yang tidak mentolerir pihak lain, sementara literasi menjadi masalah jika kebiasaan membaca (dan menulis) menimbulkan kesenjangan dalam pengetahuan mereka.
Ketika belajar IP&I atau kemudian meneliti sebagai sarjana IP&I, maka intoleransi dan literasi menjadi objek pelajaran maupun objek penelitian.
Ketika lulus kuliah sebagai sarjana, atau pasca-sarjana, atau doktor IP&I maka kita punya pengetahuan tentang masalah sosial. Dan kalau kita sebagai sarjana, pasca-sarjana, atau doktor IP&I bekerja sebagai pustakawan, arsiparis, manajer dokumen, dan sebagainya... kita dapat menerapkan pengetahuan itu dalam pekerjaan sehari-hari.
Kita sebenarnya adalah ilmuwan dan praktisi sosial.
Akan kita bahas lebih lanjut hal ini di tulisan berikutnya yang merupakan akhir dari rangkaian tulisan yang bertajuk KEPUSTAKAWANAN, MASALAH SOSIAL, dan EPISTEMOLOGI SOSIAL.

 

Bagian 7

Sumber: https://www.facebook.com/631103700433496/posts/1749180888625766/