Skip to content Skip to navigation

Majalah Sebagai Sarana Pengembangan Jurnalistik Kepustakaan

MAJALAH SEBAGAI SARANA PENGEMBANGAN JURNALISTIK KEPUSTAKAAN:

Coretan Pengantar Diskusi[1]

 

Majalah sebagai salah satu sarana komunikasi, terbagi antara komunikasi ilmiah dan komunikasi populer. Sebagai bagian dari komunikasi ilmiah masuk dalam kategori jurnal. Dalam konteks komunikasi populer dapat sebagai komunikasi informasi pers maupun komunikasi non-pers. Majalah dalam konteks pers seperti Majalah Tempo, Forum, Sindo, dan sebagainya. Walau demikian, ada pula majalah dalam ruang lingkup pers namun unsur pemberitaannya tidak dominan, seperti Intisari, SWA, Info Bank, dan sebagainya yang lebih kepada penyampaian informasi sesuai dengan segmen pembacanya.

Dalam ranah perpustakaan di Indonesia, majalah yang selama ini terbit hanya lebih fokus kepada “dirinya sendiri (perpustakaan)” bukan menyampaikan informasi atau media komunikasi antara perpustakaan dengan pemustakanya. Misalkan, hanya memberitakan kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan perpustakaan atau Lembaga induknya dengan penulisan pola “hardnews” atau berita layaknya pemberitaan di surat kabar. Bukan dengan konsep “Feature”. Dampaknya adalah majalah tersebut yang membaca hanya pengelola perpustakaan itu sendiri.

Sebelum masuk ke dalam pembahasan mengenai majalah perpustakaan, terpikir untuk membangun atau kalau sudah ada mengembangkan konsep yang saya sebut “Jurnalistik Kepustakaan”. Apabila dalam konteks keilmuan, khususnya metodologi penelitian, salah satu metode yang cukup sering dipakai yaitu “Studi Kepustakaan” atau “Library Research”. Metode ini dikembangkan untuk riset-riset berbasis kepustakaan. Metode ini sering banyak dipakai dalam ranah hukum, sejarah, filsafat dan ilmu-ilmu sosial. Dalam konteks jurnalistik, yaitu penerbitan majalah khususnya secara online atau diterbitkan secara digital atau memadukannya, maka terpikir untuk mengembangkan “Jurnalistik Kepustakaan”.

Jurnalistik kepustakaan ini berangkat dari pemikiran bahwa pustakawan dan perpustakaan mengelola beragam koleksi Pustaka dan memiliki kemampuan untuk mengakses ke beragam bahan Pustaka yang ada  di berbagai pangkalan data dan situs yang dikelola Lembaga lain. Perpustakaan mengelola berita-berita yang masuk yang dihimpun baik dalam format kliping atau indeks berita atas surat kabar dan majalah berita yang dilanggannya. Perpustakaan juga mengelola beragam hasil penelitian dan kajian yang dilakukan oleh Lembaga-lembaga yang ada baik yang disusun dalam bentuk laporan, prosiding dan sebagainya, maupun masih berbentuk grey literature. Selama ini pula, pustakawan mengelola dan  menghasilkan beragam literatur sekunder dan tersier, mulai dari Tesaurus, Ensiklopedi, Handbook, Bibliografi, indeks dan Abstrak.

Beragam informasi yang terkandung di dalam yang apabila dikemas ulang kembali akan menjadi informasi menarik yang dapat disajikan kepada para pemustaka. Peran penting ini dalam dilihat dalam Laporan Journalism and Libraries: “Both Exist to Support Strong, Well-informed Communities” - Nieman Reports . Laporan ini menggambarkan di Amerika Serikat, kenapa keberadaan pustakawan dalam pengembangan Jurnalistik, yaitu kepercayaan masyarakat terhadap informasi yang disampaikan pustakawan. Dalam konteks Daerah, Perpustakaan Daerah menerbitkan Majalah yang mengulas tentang Informasi lokal daerah tersebut, khususnya pada tingkat Kabupaten/Kota lebih spesifik informasi tingkat desa. Hal ini dikarenakan media jurnalistik yang lebih mengangkat isu-isu nasional yang lebih besar ketimbang isu lokal.

Perpustakaan daerah menerbitkan majalah terkait dengan trend kebutuhan informasi pemustaka yang ditanganinya.  Perpustakaan Daerah sebagai Lembaga yang mengelola pengetahuan lokal sesuai ruang lingkupnya menjadi khasanah informasi dan budaya setempat, baik yang lalu dan saat ini serta wacana masa depan. Mulai dari bahasan permasalahan sosial setempat, tempat menarik, tokoh masyarakat, kuliner, dan hal menarik lainnya seputar daerah tersebut.

Lalu, bagaimana dengan Perpustakaan Nasional ?

Perpustakaan Nasional RI saat ini memiliki keadaan yang sangat berat. Di satu sisi, tugas utama Perpustakaan Nasional RI sebenarnya sebagai “Deposit” Pengetahuan dan Intelektual Indonesia, namun di sisi lain berkewajiban melakukan pembinaan terhadap perpustakaan di seluruh Indonesia. Idealnya, Perpustakaan Propinsi dan Perpustakaan Kabupaten/ Kota menjadi kepanjangan tangan Perpustakaan Nasional. Namun, kenyataannya, sedikit sekali Perpustakaan kepanjangan tangan tersebut yang setidaknya sesuai dengan standar nasional perpustakaan. Tidak perlu jauh-jauh ke pelosok daerah, cukup lihat Jabodetabek saja. Walau mungkin secara fisik Gedung perpustakaan umum yang ada di Jabodetabek tersebut cukup megah, namun, sayangnya dalam konteks pengembangan koleksi dan layanan perpustakaan masih jauh dari yang diharapkan. Terlebih dengan masyarakat urban yang ada di Jabodetabek, pendekatan konvensional dengan berharap masyarakat datang ke perpustakaan, namun suasana perpustakaan yang belum sesuai harapan serta layanan yang masih konvensional, dalam pengertian hanya layanan sirkulasi saja yang dikembangkan, maka menjadi beban berat bagi Perpustakaan Nasional untuk mengangkat citra perpustakaan yang baik secara nasional.

Beban berat ini ditambah pula dengan tidak berkesinambungan program-program perpustakaan di daerah dalam konteks literasi yang niatnya dengan banyaknya Taman Bacaan Masyarakat dan Pojok Baca di sekolah menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk aktif berkunjung ke perpustakaan baik secara langsung maupun melalui internet ternyata tidak saling terkait. Akibatnya, presepsi yang timbul, ada rak, ada buku dan majalah, tersusun dengan rapi dan ada labelnya, maka sudah dapat disebut perpustakaan. Padahal, maksud adanya TBM dan Pojok Baca tersebut sebagai kepanjangan tangan perpustakaan di lingkungan masyarakat. Para pegiat TBM diharapkan mengarahkan para pemustakanya untuk mendalami lebih lanjut ilmu pengetahuan atau informasi yang dibutuhkan ke perpustakaan. Bukan stop hanya di TBM tersebut.  Akibatnya, presepsi yang muncul di masyarakat, mereka tidak butuh perpustakaan atau bayangan mereka, perpustakaan hanya sederet buku dan majalah yang ada dirak.

Dampaknya adalah makin hari kunjungan pemustaka ke perpustakaan umum daerah makin berkurang. Kunjungan meningkat kalau perpustakaan tersebut aktif menyelenggarakan kegiatan-kegiatan kepada pemustakanya. Jadi, wajar saja apabila Layanan Perpustakaan Nasional RI tidak lagi “layanan Penelitian/Riset” seperti umumnya konsep Perpustakaan Nasional yang diajarkan dalam perkuliahan, namun jadi melebar layaknya Perpustakaan Umum. Seandainya layanan perpustakaan umum di Jabodetabek sudah sesuai dengan konsep layanan perpustakaan umum standar di perkuliahan dan selalu ramai dikunjungi baik onsite maupun online, mungkin tidak perlu melakukan layanan seperti saat ini.

Nah, karena Perpustakaan Nasional sudah memosisikan diri memberikan layanan terbuka kepada seluruh Warga Negara Indonesia layaknya Perpustakaan Umum, maka perlu ada media komunikasi yang dibangun antara Perpustakaan dengan Pemustaka. Jangan sampai Perpustakaan Nasional seperti Museum, masyarakat datang hanya sekali atau dua kali ke tempat tersebut seumur hidupnya. Perpustakaan layaknya rumah ibadah atau sekolah, diharapkan menjadi salah satu destinasi keseharian dalam kehidupannya.

Saat ini Perpustakaan Nasional telah memiliki beragam media komunikasi, seperti media sosial (Instagram, Twitter, FB, Youtube, Tiktok?). Adapula beragam situs yang dikelola Perpustakaan Nasional dan juga Jurnal Ilmiah. Pertanyaannya, apakah masih perlu Perpustakaan Nasional RI menerbitkan Majalah?

Pentingnya Majalah Sebagai Jembatan Komunikasi Perpustakaan dengan Pemustaka

Apabila dalam pengantar disampaikan bahwa majalah dapat dikategorikan sebagai media jurnalistik yang memberikan informasi kepada masyarakat luas. Ada yang bersifat umum ada yang spesifik. Walau telah ada beragam sarana komunikasi, seperti media sosial, newsletter, dan website, kebutuhan atas adanya Majalah perlu menjadi pertimbangan.

Ada beberapa kelebihan dari majalah dibandingkan dengan media lainnya:

  1. Penulisan artikel majalah tidak kaku, populer, menggunakan konsep penulisan feature, sehingga tulisan tidak basi,
  2. Artikel-artikel majalah dapat dilengkapi oleh beragam foto untuk memperkuat tulisan atau sebaliknya, foto-foto tersebut dilengkapi oleh tulisan untuk memperkuat pesan atau informasi yang disampaikan dalam foto tersebut.
  3. Durasi terbit berkala yang rentangnya cukup Panjang, bisa mingguan, dwi mingguan, bulanan , dwi bulanan, atau 3 bulanan, sesuai kemampuan pengelolanya. Terpenting rutin.
  4. Majalah dapat mengembangkan suatu tema mendalam dalam setiap nomor penerbitannya. Jadi, dengan tema tersebut, akan ada beberapa artikel yang mengupas sesuai dengan tema yang diangkat.

Berdasarkan kelebihan tersebut, maka Majalah dapat menjadi sarana komunikasi yang menjembatani antara Perpustakaan Nasional RI dengan pemustakanya. Untuk itu, ada beberapa pertanyaan mendasar yang perlu dijawab sebelum membangun Majalah ini.

  • Tujuan menerbitkan Majalah
  • Visi dan Misi Majalah
  • Platform yang dibangun
  • Target Pembaca Majalah
  • Perencanaan Strategik Majalah
  • Pengelola (SDM) Majalah
  • Anggaran

Setelah terjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar atas hal ini di atas, maka barulah mulai menyiapkan infrastruktur dari majalah itu sendiri. Infrastruktur ini diawali dengan:

Manajemen Majalah Secara Umum

Pimpinan Perusahaan

 

Dewan Redaksi

 

Berisi pengelola usaha dari majalah, mulai dari Pemimpin Perusahaan, Keuangan, Marketing, dan hal-hal administrasi lainnya

Berisi pengelola isi dari majalah, mulai dari Editor in-Chief (Pemimpin Redaksi), Redaktur Pelaksana, Editor, Redaktur, Ilustrator, Reporter, Kontributor.

 

Seperti yang disebutkan di awal, umumnya majalah yang diterbitkan oleh perpustakaan layaknya bulletin, hanya memberitakan dirinya sendiri sehingga pembacanya hanya pengelola perpustakaan itu sendiri. Oleh karena itu, maka Perpustakaan Nasional RI perlu menetapkan majalah ini karena sebagai jembatan komunikasi perpustakaan dengan pemustaka, maka keterlibatan pemustaka dalam majalah ini, yaitu sebagai kontributor sangat diharapkan.  Untuk itu, majalah ini di desain tidak hanya satu arah, yaitu dari pengelola majalah, namun melibatkan pemustaka sebagai kontributor.

Selanjutnya, dalam pengembangan kolom, pengelola majalah perlu menginventarisir apa saja sumber daya koleksi dan pengetahuan yang dikelola oleh Perpustakaan Nasional RI. Mulai dari Koleksi Langka, Koleksi Kuno, Koleksi Unik, Terbitan yang dihasilkan Perpustakaan Nasional (bukan hanya terbitan Perpusnas Press), Layanan Publik yang dilakukan Perpusnas (ISBN, Pelatihan, dll.) maupun kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan di Perpustakaan Nasional (jadi bukan hanya kegiatan yang diselenggarakan Perpusnas, namun kegiatan yang diselenggarakan Pemustaka bertempat di Perpusnas).

Berikutnya, dalam penulisan artikel. Kembali ke pengantar, pengelola majalah perlu memikirkan untuk mengembangkan konsep Jurnalistik Kepustakaan. Konsep ini berangkat dari bahwa pustakawan merupakan orang-orang terpercaya dalam memberikan informasi yang tepat kepada pemustakanya seperti laporan yang ada di Amerika Serikat. Untuk itu, dalam setiap artikel yang disajikan harus mencantumkan dan berdasarkan referensi yang kuat atas pemberitaan atau argumentasi yang disajikan dalam artikel tersebut. Misalkan, mengupas suatu buku, maka penulis diharapkan dapat memberikan referensi atas pendapatnya atas buku tersebut, layaknya menulis resensi namun disertai referensi yang menyertainya.

Dalam memberitakan kegiatan yang diselenggarakan di Gedung Perpustakaan Nasional RI, mungkin pengelola majalah nantinya dapat memelajari penulisan yang dikembangkan Majalah Tempo atau Kompas Ketika menuliskan suatu pameran lukisan atau festival. Nah, lagi-lagi kelebihan dari model penulisannya adalah dilengkapi referensi lebih lanjut apabila pembaca ingin mendalami artikel berkaitan dengan lukisan atau festival tersebut.

Tidak kalah penting, adalah pengembangan SDM pengelola majalah. Sebelum memulai mengembangkan majalah, para pengelola majalah duduk bareng dalam bentuk workshop atau pelatihan teknis, baik itu terkait penulisan, editing, lay-out tulisan yang akan diterbitkan. Begitu pula ditetapkan pula secara berkala Rapat Redaksi, apakah mingguan, atau bulanan. Idealnya minimal setiap penerbitan majalah, minimal 2 kali Rapat Redaksi. Rapat Pertama, membahas tema apa saja yang akan diangkat, siapa yang ditugaskan meliput, menuliskan atau melakukan riset kepustakaan untuk penulisan, lalu, siapa saja contributor yang diharapkan serta deadline penulisan.  Rapat kedua, membahas kesiapan atas tulisan yang akan diterbitkan, dan hal darurat apa saja yang perlu dilakukan apabila ada kendala teknis yang dihadapi sehingga majalah dapat terbit tepat waktu. Begitu selanjutnya, namun pada rapat pertama ditambahkan evaluasi atas penerbitan majalah sebelumnya.

Selanjutnya, karena majalah ini diterbitkan online, maka konsep yang dapat dibangun perpaduan antara model penulisan blog dan majalah digital. Dalam hal ini, ada beberapa model yang dapat dikembangkan, seperti:

Majalah Terbitan ALA

Home | American Libraries Magazine

May 2021 | American Libraries Magazine

Majalah terbitan The Rowling Library

The Rowling Library - Articles, news and projects about J.K. Rowling and Harry Potter

The Rowling Library Magazine #61 (January 2022): Twenty Two

 

Melalui konsep ini, selain mengandalkan para pengelola majalah (Redaksi), pemustaka dan pustakawan dapat terlibat untuk mengirimkan artikelnya, apakah nanti masuk secara online di laman majalah online (blog) atau masuk dalam terbitan majalah. Dengan demikian, diharapkan dengan konsep ini terbangun rasa kepemilikan Bersama atas majalah tersebut.

Hal lainnya yang perlu dikembangkan oleh pengelola majalah, adalah pelatihan menjadi jurnalis kepustakaan baik bagi pustakawan dan pemustaka, sehingga mereka diharapkan menjadi contributor. Pelatihan ini diharapkan dapat dilaksanakan secara berkala, minimal satu tahun sekali. Melalui pelatihan ini pengelola majalah dapat mereview apakah model tulisan yang dikembangkan perlu diubah atau dikembangkan lebih lanjut, termasuk juga tampilan majalah online-nya. Dengan demikian, pengelola majalah tidak terjadi krisis penulis majalah atau kritis redaktur, karena secara sistematis dan berkala sudah direncanakan.

Sebagai penutup, kami berharap majalah yang akan diterbitkan ini dapat menjadi wahana kolaborasi Perpustakaan Nasional dengan pemustaka sehingga upaya mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia dapat tercapai. Hal lainnya jangan sampai penerbitan majalah ini hanya sekadar menjalankan program atau proyek saja, namun menjadi bagian utama dari layanan public ke masyarakat. Secara akademis, syukur-syukur majalah ini dapat membangun dan mengembangkan konsep Jurnalistik Kepustakaan sehingga menjadi inovasi tersendiri yang dihasilkan oleh Perpustakaan Nasional RI.

Wallahu a’lam

Catatan:

Coretan disampaikan dalam pertemuan Rapat Perumusan Buletin Layanan Perpustakaan, Rabu, 26 Januari 2022

 

Image by Racool_studio on Freepik




[1] Farli Elnumeri, Kepala Perpustakaan Hukum Daniel S Lev / Presiden ISIPII / Sekjen PP IPI / Pengelola Jurnal IPI